Selasa, 01 Januari 2013

PENINGKATAN EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MELALUI PEMANFAATAN MEDIA TEKNOLOGI INFORMASI




Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
A. Konsep Pembelajaran
Efektivitas pembelajaran dapat dikaji dari beberapa aspek, diantaranya: perangkat pembelajaran, proses, karakteristik pendidik, dan hasil belajar. Semua aspek tersebut saling terkait dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran. Sedangkan tujuan pembelajaran (pendidikan) mencakup tiga aspek, yaitu: koqnitif, affektif, dan psikomotorik. Tujuan kognitif berkaitan dengan usaha pengembangan intelektual peserta didik, afektif berhubungan dengan perkembangan sosial dan emosional, sedangkan psikomotorik berkenaan dengan perkembangan aspek ketrampilan peserta didik. Hal itu berarti pembelajaran dapat dikatakan berkualitas apabila mampu mengembangkan aspek-aspek tersebut pada diri peserta didik. Pembelajaran yang efektif adalah memungkinkan peserta didik mendapatkan ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang telah ditetapkan.
Pembelajaran harus dilandasi dengan penciptaan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk belajar. Pada umumnya pendidik kurang menyadari peranannya dalam membina pelajaran sejarah. Hal ini tercermin dari seringnya pembelajaran di sekolah mendapat sorotan tajam dari masyarakat, karena ternyata pembelajaran sejarah diselenggarakan dengan cara-cara yang kurang memadai (Widja, 1989).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik secara eksternal maupun internal. Faktor-faktor eksetrnal mencakup pendidik, materi, pola interaksi, media dan teknologi, situasi belajar dan sistem. Masih ada pendidik yang kurang menguasai materi dan dalam mengevaluasi peserta didik, menuntut jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan. Peserta didik tidak diberi peluang untuk berfikir kreatif. Pendidik juga mempunyai keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia mengetahui perkembangan terakhir di bidangnya dan kemungkinan perkembangn yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang. Sementara itu materi pembelajaran dipandang oleh peserta didik terlalu teoritis, kurang memanfaatkan berbagai media secara optimal.
Beberapa pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan memberikan pendapat tentang fenomena pembelajaran sejarah yang terjadi di Indonesia diantaranya masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi dan buku ajar atau buku teks, dan profesionalisme pendidik sejarah. Kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari harapan untuk memungkinkan peserta didik melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini dan masa depan. Pembelajaran sejarah cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama. Tidak aneh bila pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik, dan tidak memberi kesempatan kepada anak didik untuk belajar menggali makna dari suatu peristiwa sejarah.
Strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa. Peserta didik tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu peristiwa guna memahami dinamika suatu perubahan. Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya tidak lepas dari pengaruh budaya yang telah mengakar. Model pembelajaran yang bersifat satu arah dimana pendidik menjadi sumber pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat sulit untuk diubah. Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan peran peserta didik sebagai pelaku sejarah pada zamannya menjadi terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh peserta didik sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan belar di kelas, sehingga menempatkan peserta didik sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif. Kekurang cermatan pemilihan strategi pembelajaran akan berakibat fatal bagi pencapaian tujuan (Widja, 1989).
Masalah profesionalisme pendidik sejarah juga masih dipertanyakan, sampai saat ini masih berkembang kesan dari para pendidik, pemegang kebijakan di sekolah bahwa pelajaran sejarah dalam mengajarkannya tidak begitu penting memperhatikan masalah keprofesian, sehingga tidak jarang tugas mengajar sejarah diberikan kepada pendidik yang bukan profesinya. Akibatnya, pendidik mengajarkan sejarah dengan ceramah mengulangi isi yang ada dalam buku. Sementara itu terlalu banyak sekolah yang memposisikan pendidik sejarah sebagi orang buangan, dan mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap. Selain itu, sebagian besar pendidik sejarah juga tidak mengikuti perkembangan hasil penelitian dan penerbitan buku sejarah yang mutakhir. Hal yang terekhir itu juga berkaitan denagn adanya kenyataan bahwa institusi resmi yang menjadi tempat pendidikan tambahan bagi pendidik sejarah itu hanya berfokus pada substansi historis dan metode pembelajaran sejarah yang tertinggal jauh (Purwanto, 2006).
Pembelajaran sejarah di sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal. Pelajaran sejarah seolah sangat mudah dan digampangkan. Banyak pendidik yang tidak memiliki berlatar belakang pengetahuan/pendidikan sejarah, tetapi mengajar sejarah di sekolah. Sesuai dengan ketetapan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan PP No. 19 tahun 2005, maka pengembangan kurikulum pendidikan sejarah di SD, SMP, SMA menjadi tanggung jawab masing-masing sekolah tersebut. Melalui pengembangan dan penempatan sejarah lokal sebagai materi kurikulum yang dasar, terlepas apakah materi tersebut dikemas dalam mata pelajaran sejarah ataukah mata pelajaran lain. Posisi materi sejarah lokal dalam kurikulum dianggap penting karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat dan peserta didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat
Para ahli kurikulum mengajukan kritik terhadap pembelajaran sejarah yang didominasi  bahan hafalan, lebih menekankan memorisasi dan mengabaikan usaha pengembangan kemampuan intelektual yang lebih tinggi, tidak relevan dengan kebutuhan peserta didik (Partington, 1980). Meskipun kritik tersebut bertolak dari kenyataan yang ada di Inggris, tetapi kenyataannya juga berlaku di Indonesia. Untuk itu, perlu ada usaha untuk mengembangkan alternatif baru dalam proses pembelajaran sejarah di sekolah karena secara pedagogis sangat lemah. Selama ini pembelajaran sejarah di sekolah terlalu indoktrinatif dan tidak menjadikan anak berpikir kreatif
Metode pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan pelajaran sejarah membosankan, karena tidak memberikan sentuhan emosional, peserta didik merasa tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang kaku berakibat buruk untuk jangka waktu panjang dan berpotensi memunculkan generasi yang mengalami "amnesia sejarah" yaitu melupakan sejarah bangsa sendiri. Penelitian Govinthasamy (2002) menunjukkan bahwa pendidik-pendidik sejarah kurang mementingkan penerapan KBKK (Kemahiran Berfikir Kreatif dan Kritis)  dalam pembelajarannya.
Pembelajaran sejarah di sekolah selama ini kurang menarik, bahkan sering dianggap membosankan, dan dirasakan hanya sebagai rangkaian fakta-fakta yang berupa urutan tahun, tokoh dan peristiwa belaka yang jauh dari lingkungan sosial peserta didik, terutama di luar Jawa, karena selama ini materi kurikulum didominasi peristiwa sejarah di Pulau Jawa, sementara peristiwa dan peran tokoh di daerah lain yang tidak sedikit dan tidak kalah pentingnya termasuk di Sulawesi Tenggara tidak pernah termuat dalam buku/bahan ajar. Materi pembelajaran sejarah yang diberikan kepada peserta didik SD hingga SLTA tidak berbeda. "Proklamasi kemerdekaan RI dan Perang Diponegoro, misalnya, dipelajari dari SD hingga SLTA, sehingga membosankan. Akhirnya pelajaran sejarah benar-benar bisa mengajarkan kearifan hidup bagi peserta didiknya. Untuk itu masalah tawuran anak sekolah yang kerap terjadi, bukan semata-mata persoalan budi pekerti, tetapi juga karena ada kesalahan  dalam pembelajaran sejarah.
Salah satu usaha pengembangan pembelajaran sejarah adalah dikembangkannya suplemen kurikulum muatan lokal atau Kurikulm Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Inti muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah, serta wajib dipelajari oleh peserta didik di daerah itu.
Hasil Penelitian Sayono (2001) menunjukkan perlunya penyempurnaan kurikulum pembelajaran sejarah dengan menempatkan sejarah lokal sebagai bahan ajar. Hal ini untuk menghindarkan peserta didik tercabut dari akar sosio-kulturalnya, karena materi sejarah yang paling dekat dengan kondisi psikologis peserta didik adalah sejarah lokal. Kedudukan sejarah lokal sangat urgen dalam pembelajaran sejarah, dan diharapkan ada kesinambungan dalam pemikiran peserta didik agar dapat merasa bahwa diri dan lingkungannya merupakan bagian dari kehidupan yang lebih luas yakni negara kesatuan Republik Indonesia
Tujuan penerapan sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah di sekolah adalah (1) bahan  belajar akan lebih mudah diserap peserta didik, (2) sumber belajar di daerah dapat lebih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, (3) peserta didik lebih mengenal kondisi lingkungan, (4) peserta didik dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya, (5) peserta didik dapat menolong diri dan orang tuanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, (6) peserta didik dapat menerapkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan  yang dipelajarinya untuk memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya, (7) peserta didik menjadi akrab dengan lingkungannya (Widja, 1989), dan peserta didik makin kreatif, inovatif, patriotik, dan cinta tanah air.
Mencermati perkembangan masyarakat yang  begitu kompleks, maka perlu kurikulum berwawasan lokal berstandar Internasional, karena perkembangan kurikulum sejarah tidak terlepas dari faktor eksternal dan internal. Kurikulum nasional yang disusun berdasarkan kompetensi dasar dalam bentuk Standar Internasional, akan memberikan peluang luas kepada daerah untuk mengembangkan muatan lokal dalam pembelajaran sejarah, sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah. Dalam mengembangkan kurikulum bermuatan sejarah lokal dapat dikemas dengan cara menjabarkan dan menambah bahan kajian dari KTSP mata pelajaran sejarah. Untuk dapat mengembangkan muatan sejarah lokal dengan baik perlu kiranya tetap menggunakan pendekatan-pendekatan yang berlaku dalam sejarah nasional yaitu faktual, prosesual, pemecahan masalah, dan tematis. Pendekatan tematis memerlukan pengembangan sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah perkebunan, dan sejarah peradaban, yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.
Pengembangan pembelajaran sejarah bermuatan lokal perlu pula mencermati arah materi sejarah yang bersifat Indonesia sentris, arah gerak sejarah Bangsa Indonesia yang semula ditentukan oleh kaum elit/penguasa, menuju ke gerak sejarah yang tidak hanya ditentukan oleh kaum penguasa, tetapi oleh rakyat Indonesia. Dalam menghadapi tantangan pembelajaran sejarah yang demikian ini peran pendidik sejarah benar-benar menentukan selain sebagai pelaksana kurikulum dan pengembang kurikulum sejarah, juga harus mampu melakukan pengkajian sejarah lokal di sekitar tempat tugasnya.

B. Pengintegrasian Sejarah Lokal dalam Pembelajaran Sejarah
Pengintegrasian sejarah lokal dalam tulisan ini adalah pemuatan sejarah dalam lingkup yang terbatas meliputi suatu lokasi tertentu. Perlunya pemuatan sejarah lokal karena untuk mengetahui kesatuan yang lebih besar, bagian yang lebih kecil pun harus dimengerti dengan baik. Seringkali hal-hal yang ada di tingkat nasional baru bisa dimengerti dengan baik, apabila kita mengerti dengan baik pula perkembangan di tingkat lokal. Pengembangan penulisan yang bersifat nasional seperti selama ini, sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu, terutama yang terkait dengan sejarah wilayahnya sendiri (Lapian, 1980).
Banyak bagian sejarah bangsa Indonesia, bukan saja tidak pernah dihayati, tetapi juga tidak pernah dibayangkan karena kurangnya informasi tentang peristiwa itu, sehingga ada begian-bagian sejarah daerah kita sendiri yang luput dari masyarakat pembaca sejarah. Sebagai contoh keterbatasan pengetahuan orang-orang (bahkan yang berasal dari daerah itu sendiri) tentang peranan penting serta perkembangan detail dari kerajaan Wolio, Wuna, Konawe, Mekongga, dan Laiwoi. Ataupun arti penting serta detail dari bentuk-bentuk pemerintahan yang pernah berkembang di Indonesia seperti Barata di Wuna dan Buton, serta Pitu Dula Batu di Kerajaan Konawe. Masih banyak lagi bisa dipakai contoh tentang kasus-kasus objek studi sejarah lokal yang tidak begitu dikenal di lingkungan masyarakat Indonesia.
Peninggalan gua prasejarah di Muna, Al-Qur’an 30 juz tulisan tangan di atas kertas yang berasal dari bahan baku kulit kayu yang ditemukan di Muna, perjuangan rakyat Buton melawan Jepang, perlawanan rakyat Kolaka dan Kendari melawan Sekutu dan Belanda yang mencapai puncaknya pada saat peristiwa 19 November 1945. Rangkaian peristiwa tersebut belum banyak ditulis sehingga tidak dipahami masyarakat di Sulawesi Tenggara. Dengan demikian, kepentingan mempelajari sejarah lokal, pertama-tama adalah untuk mengenal berbagai peristiwa sejarah di wilayah terdekat dengan lebih baik dan lebih bermakna.
Sejalan dengan itu, Lapian (1980) menunjukkan kepentingan lebih lanjut dari kajian secara lokal, yaitu: “untuk bisa mengadakan koreksi terhadap generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah nasional”. Sebagai ilustrasi masalah generalisasi yang menyangkut periodisasi sejarah Indonesia yang sering diberi istilah Zaman Hindu. Pada kenyataannya ada daerah-daerah yang tidak mengenal periode zaman Hindu (seperti Sangir-Talaud, Sewu, Rote, dan Wilayah Sulawesi Tenggara). Ada pula daerah-daerah yang sampai sekarang masih berpegang pada Hinduisme (seperti Bali, dan sebagian Lombok). Di sini juga nampak bahwa pengembangan penulisan sejarah lokal akan memberikan bahan pengecekan terhadap anggapan teoritis yang bersifat menggeneralisasikan masalahnya untuk seluruh Indonesia.
          Ada beberapa aspek positif dalam pembelajaran sejarah lokal, baik yang bersifat edukatif psikologis maupun yang bersifat kesejarahan sendiri. Pertama, mampu membawa peserta didik pada situasi ril di lingkungannya dan mampu menerobos batas antara dunia sekolah dan dunia nyata di sekitar sekolah. Dilihat secara sosio-psikologis bisa membawa peserta didik secara langsung mengenal dan menghayati lingkungan masyarakatnya, dimana mereka merupakan bagian di dalamnya (Mahoney, 1981).
          Kedua, pembelajaran sejarah lokal, akan lebih mudah membawa peserta didik pada usaha untuk mengenang pengalaman masa lampau masyarakatnya dengan melihat situasi masa kini, bahkan dapat memproyeksikan  peluang dan tantangan pada yang akan datang. Dalam pembelajaran sejarah lokal peserta didik akan mendapatkan banyak contoh dan pengalaman dari berbagai tingkat perkembangan lingkungan masyarakatnya, termasuk situasi masa kini. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menangkap konsep perubahan yang menjadi kunci penghubung antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
          Kalau dihubungkan dengan teori J. Bruner maupun dalam hubungan dengan konsep-konsep pendekatan proses, maka pembelajaran sejarah lokal sangat mendukung prinsip pengembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir aktif, kreatif dan struktural konseptual. Hampir semua prinsip dalam rangka pembelajaran peserta didik aktif  sangat relevan dengan kegiatan pembelajaran yang bermuatan sejarah lokal. Sesuai dengan sifat materi serta sumber sejarah lokal, maka peserta didik akan terdorong untuk menjadi lebih peka lingkungan, begitu juga mereka akan lebih terdorong mengembangkan keterampilan-keterampilan khusus seperti: mengobservasi, teknik bertanya atau melakukan wawancara, mengumpulkan dan menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi serta mengidentifikasi konsep, bahkan membuat generalisasi, kesemuanya itu mendorong bagi perkembangan proses belajar bersifat discovery inquiry.
          Jika dihubungkan dengan pendekatan kurikulum yang bersifat integratif beberapa mata pelajaran menjadi satu kelompok, dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), maka melalui pembelajaran bermuatan sejarah lokal nampaknya integrasi itu akan lebih mudah diwujudkan. Secara bersama-sama mata pelajaran seperti: ekonomi, geografi dan sejarah bisa juga dikelompokkan sebagai “pembelajaran lingkungan masyarakat setempat” (local community studies). Dalam wadah pembelajaran lingkungan masyarakat setempat, aspek-aspek kehidupan ekonomi, sosial, geografis serta aspek perkembangan suatu masyarakat dalam sutu lokasi tertentu sulit dipisahkan dengan tegas. Semua unsur kelompok mata pelajaran ini saling terkait dan menjelma dalam wujud kehidupan nyata dari masyarakat secara keseluruhan (Berry dan Schug, 1984).
          Pembelajaran bermuatan sejarah lokal mengharapkan peserta didik maupun pendidik harus berhubungan dengan sumber-sumber sejarah, baik yang tertulis maupun informasi lisan, baik berupa dokumen maupun benda-benda seperti: bangunan, alat-alat, peta dan sebagainya yang mula-mula harus dikumpulkan, kemudian dikaji (dikritik) serta diinterpretasikan sebelum bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran sejarah lokal. Untuk itu, pendidik sejarah perlu suatu persiapan khusus sebelum pembelajaran bermuatan sejarah lokal bisa dilaksanakan secara efektif.
          Kesulitan lain adalah memadukan tuntutan pembelajaran sejarah lokal dengan tuntutan penyelesaian target materi yang telah tertulis dalam kurikulum. Pada umumnya dalam kurikulum sudah ditentukan sejumlah materi dan pokok-pokok bahasan yang harus diselesaikan sesuai dengan alokasi waktu yang sudah ditentukan dengan ketat. Dengan demikian pendidik akan mengalami dilema antara memenuhi tuntutan kurikulum dengan usaha pengembangan pembelajaran bermuatan sejarah lokal yang memerlukan waktu yang relatif banyak, baik untuk persiapan maupun untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran sejarah lokal yang dilakukan di luar kelas.
          Terkait dengan permasalahan tersebut, Douch (1967) mengemukakan tiga model pembelajaran sejarah lokal. Pertama, pendidik sejarah hanya mengambil contoh-contoh dari kejadian lokal untuk memberi ilustrasi yang lebih hidup dari uraian sejarah nasional maupun sejarah dunia yang sedang diajarkan. Di sini jelas tidak akan ada masalah bagi usaha yang mengaitkan sejarah lokal dengan kurikulum pembelajaran sejarah yang berlaku, karena tidak ada pengambilan alokasi waktu yang sudah disediakan dan tidak ada kegiatan khusus di luar kelas yang harus dilakukan pendidik dan peserta didik.
Kedua, dilakukan dalam bentuk kegiatan penjelajahan lingkungan. Di sini sudah ada usaha memberi porsi yang lebih nyata dari kegiatan belajar peserta didik dengan aktivitas kesejarahan di luar kelas. Dalam bentuk ini peserta didik selain belajar sejarah di kelas, juga diajak ke lingkungan sekitar sekolah untuk mengamati langsung sumber-sumber sejarah dan mengumpulkan data sejarah. Aspek-aspek yang diamati tidak semata-mata berupa sejarah dalam urutan-urutan peristiwa, tetapi juga berbagai aspek kehidupan yang terkait seperti geografi, sosial ekonomi, folklor, dan pertanian.
Ketiga, studi khusus tentang berbagai aspek kesejarahan di lingkungan peserta didik. Peserta didik diorganisir untuk mengikuti prosedur seperti yang dilakukan peneliti profesional, mulai dari pemilihan topik, membuat perencanaan, cara membuat analisis data sampai penyusunan laporan hasil studi.
Diantara tiga pilihan tersebut, akan lebih bijak jika dipilih model kedua, karena selain tidak mengganggu materi yang telah ada dalam kurikulum, juga dapat meningkatkan partisipasi peserta didik dan mendorong peserta didik untuk lebih kreatif dan inovatif, serta bangga terhadap lingkungan sosialnya. Persoalannya sekarang, sejauh mana pendidik sejarah mampu merancang kegiatan pembelajaran yang dapat mengaitkan dengan peristiwa sejarah lokal. Selama ini sumber-sumber sejarah lokal masih terbatas yang diungkap secara tertulis, jika ada itu umumnya ditulis oleh sejarwan amatir, sementara sejarawan profesional (sarjana sejarah dan magister sejarah) hanya senang berdebat persoalan metodologi yang juga sudah ketinggalan zaman, sehingga cuplikan-cuplikan sejarah yang sempat ditulis juga tidak dapat memuaskan banyak pihak, seperti kasus sejarah Sultra yang dua tahun terakhir dibacakan dalam upacara Harlah Sultra selalu menimbulkan kotroversi. Namun di sisi lain, jika kajian sejarah lokal dapat dilakukan secara profesional dengan mengadaptasi metodologi penelitian sosial modern dapat menghasilkan sesuatu yang berharga seperti hasil kajin sejarah Kota Kendari yang dilakukan Tim dari FKIP Unhalu berhasil mengungkap hari lahir Kota Kendari 9 Mei 1832, demikian pula penelitian Sejarah Kolaka yang dilakukan oleh Tim yang sama berhasil mengungkap beberapa fakta baru diantaranya rangkaian peristiwa 19 November 1945 yang merupakan puncak perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara dalam mempertahankan kemerdekaan melawan sekutu dan Belanda sekaligus dapat memperkaya muatan sejarah nasional Indonesia. Dua kajian tersebut dapat menjadi acuan utama pendidik sejarah dalam pembelajaran di sekolah mulai SD sampai dengan perpendidikan tinggi. 

C. Strategi Pembelajaran Sejarah
Agar pembelajaran sejarah berjalan efektif, maka metode yang digunakan harus bisa mengkonstruk "ingatan historis" yang disertai dengan "ingatan emosional". Metode pembelajaran satu arah yang ada selama ini hanya akan mengkonstruk "ingatan historis". Peserta didik menjadikan sejarah hanya sebagai fakta-fakta hafalan tanpa adanya ketertarikan dan minat untuk memaknainya, apalagi menggali lebih jauh. Supaya ingatan "historis" bisa bertahan lama, maka perlu disertai "ingatan emosional", yaitu ingatan yang terbentuk dengan melibatkan emosi hingga bisa menumbuhkan kesadaran dalam diri peserta didik untuk menggali lebih jauh dan memaknai berbagai peristiwa sejarah. Proses pembelajaran kemudian tidak hanya berhenti pada penghafalan saja, tetapi peserta didik bisa aktif dalam komuniasi dua arah dengan pendidik untuk menyampaikan pendapatnya mengenai objek sejarah yang tengah dipelajari karena sejak awal ia telah merasa menjadi bagian dari proses pembelajaran. Di sinilah urgensinya sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah.
Penggunaan model pembelajaran cooperative learning merupakan salah satu alternatif yang dapat dilaksanakan oleh pendidik dalam memberdayakan peserta didik secara aktif dalam menggali muatan sejarah lokal ke dalam pembelajaran sejarah. Model cooperative learning ini mampu menempatkan peserta didik sebagai subjek dalam mengungkap episode-episode sejarah lokal. Karena pada dasarnya pelaksanaan cooperative learning adalah menggali potensi yang sebenarnya sudah dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Untuk mendukung kondisi tersebut, pendidik memegang peranan penting dalam menciptakan suasana kelas yang `dapat memberikan keleluasaan dalam belajar dan mendorong peserta didik mengembangan potensi berpikirnya. Penggunaan model pembelajaran cooperative learning ini menempatkan pendidik sebagai fasilitator, motivator, mediator dan evaluator dalam upaya membantu peserta didik mengembangkan keterampilan sosial dan kemampuan berpikir kritis, agar ia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu untuk berinteraksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembelajaran sejarah lokal dapat divariasikan dengan media komputer/internet dan modul yang secara empiris  menunjukkan produktivitas hasil belajar sejarah yang tinggi dan dapat mengaplikasikan pelbagai teori dan strategi pembelajaran terutama pembelajaran koperatif (Mohamad, 2002; Alias, 2008).
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu bentuk pembelajaran dalam kelompok kecil untuk bekerja sama sesama peserta didik (Heinich, 1990), dan dapat meningkatkan motivasi serta prestasi belajar peserta didik (Anglin, 1995). Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pembelajaran kooperatif, maka ada lima unsur yang harus diterapkan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) saling ketergantungan positif, (2) tanggung jawab terhadap tugas dan kegiatan belajar, (3) terjadi tatap muka tidak harus di kelas, (4) komunikasi antar anggota, dan (5) evaluasi proses kinerja kelompok (Lie, 2002). Hasil uji coba melalui eksperimen menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar sejarah (Mursidin, 2005). Pandangan lain menyatakan bahawa pembelajaran yang menggunakan metode diskusi dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar sejarah dan meningkatkan sikap positif peserta didik terhadap mata pelajaran sejarah dan pembelajaran sejarah.
Kegiatan pembelajaran bermuatan sejarah lokal dapat pula dilakukan dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Melalui pendekatan ini proses pembelajaran menempatkan lingkungan sosial sebagai sumber belajar potensial termasuk di dalamnya aspek-aspek historis dalam lingkungan sehari-hari peserta didik. Penggunaan peta sejarah sebagai bagian dari CTL secara empiris menurut Ismain (2001) dapat meningkatkan motivasi peserta didik dalam pembelajaran sejarah. Implementasi CTL dapat dilakukan dengan menggunakan metode inquiri seperti dilakukan oleh Ahmad (2008) yang menunjukkan bahawa 83% peserta didik mampu melakukan inkuiri sejarah secara konsisten. Pemanfaatan metode inquiri dalam pembelajaran sejarah dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar sejarah dan dapat meningkatkan sikap positif peserta didik terhadap mata pelajaran sejarah dan pembelajaran sejarah (Mahmud, 2008).
Dalam kaitannya dengan penggunaan karya sastra pengarang Indonesia sebagai sarana pembelajaran, kita justru tertinggal jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Di Malaysia sudah sejak lama novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer menjadi bacaan wajib peserta didik setingkat SMP, begitu pula dengan Gadis Pantai yang menjadi bacaan wajib peserta didik setingkat SMP di Australia. Sementara itu, di negeri si pengarang, semua karya-karyanya sempat dilarang keras beredar. Jadi, sebagai pendidik sejarah harus senantiasa mendasarkan dirinya pada fakta-fakta, sementara ia tidak boleh menutup diri dari metode pembelajaran yang lebih mudah diterima dan lebih digemari peserta didik sehingga mereka tidak mengalami "amnesia sejarah" (Kompas, 6 September 2006).
Untuk menjadikan pendidik sejarah yang mampu mengembangkan materi sejarah lokal, maka ia harus mampu melakukan pengkajian sejarah, dan ini tidak bisa ditawar-tawar lagi karena dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memasukkan materi pengenalan penelitian sejarah pada semester satu kelas X. Secara filosofi bahwa inti materi pembelajaran sejarah dalam kompetensi dasar ini adalah sejarah lokal.  Usaha ini sangat positif, karena ketika peserta didik masuk SMA, mereka langsung diajak untuk latihan meneliti sejarah. Pendekatan yang tepat digunakan harus lebih mengedepankan pembelajaran learning by doing. Sebab apabila model pembelajaran hanya mengedepankan kognitif, maka tidak ubahnya materi sejarah yang ada pada peserta didik akan sia-sia.
Berkaitan model pembelajaran sejarah bermuatan sejarah lokal, maka perlu pengembangan modul dan buku-buku untuk merangsang peserta didik. Seharusnya pendidik tidak terpaku pada buku ajar, tetapi harus mengembangkan modul yang mengintegrasikan sejarah lokal. Sebab karakteristik setiap sekolah berbeda sesuai dengan arah KTSP berupa keragaman. “Tidak mungkin menggunakan satu buku untuk seluruh sekolah di Indonesia. Pendidik harus mampu mengembangkan materi sejarah dalam dimensi kekinian dengan mendekatkan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kedekatan masalah peserta didik. Pengembangan strategi pembelajaran yang mengedepankan aktivitas peserta didik merupakan upaya inovatif pembelajaran sejarah.
Menurut Wahap (2000.)  yang mampu melakukan itu semua adalah pendidik yang mempunyai latar pendidikan sejarah dan pengalaman pelatihan. Akhirnya, pendidik sejarah harus memiliki latar belakang pendidikan sejara dan perlu diberi pelatihan materi dan metode pembelajaran sejarah sehingga hasil pembelajarannya efektif dan efisien.

D.  Pemanfaatan Media Teknologi Informasi
Upaya mencapai tujuan pembelajaran yang efektif, maka pembelajaran sejarah harus kaya dengan sumber, agar peserta didik dapat mengembangkan imajinasinya. Persoalan-persoalan yang muncul sebagai akibat dari perbedaan persepsi antar penulis akan memaksa peserta didik untuk berpikir lebih tajam, sensitif, dan berupaya mengembangkan kemampuan nalarnya. Sumber atau resource yang paling kaya ada di internet, dan inilah gudangnya resource untuk bahan belajar peserta didik.
Berkaitan model pembelajaran sejarah bermuatan sejarah lokal, maka perlu pengembangan media berbasis teknologi informasi untuk merangsang peserta didik. Seharusnya pendidik tidak terpaku pada buku ajar, tetapi harus mengembangkan media yang mengintegrasikan sejarah lokal. Sebab karakteristik setiap sekolah berbeda sesuai dengan arah KTSP berupa keragaman. Tidak mungkin menggunakan satu buku/media untuk seluruh sekolah di Indonesia. Pendidik harus mampu mengembangkan materi dalam dimensi kekinian dengan mendekatkan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kedekatan masalah peserta didik. Pengembangan strategi pembelajaran yang mengedepankan aktivitas peserta didik merupakan upaya inovatif pembelajaran sejarah.
Pengadaan media TIK untuk kegiatan pembelajaran bisa saja berasal dari sekolah itu sendiri atau dari pihak lain. Pada dasarnya tidak menjadi masalah dari manapun asalnya media TIK yang sampai di sekolah. Lebih penting lagi adalah bagaimana menyiasati agar media TIK yang telah tersedia di sekolah dapat dioptimalkan pemanfaatannya bagi kepentingan pembelajaran peserta didik. Beberapa contoh media TIK yang mulai banyak tersedia di pasaran adalah CD/kaset audio, VCD, dan internet. Timbul pertanyaan, mengapa menggunakan media TIK. Jawabnya:  Menghemat waktu proses pembelajaran, melatih pembelajar lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan (http://www.docstoc.com/docs/ 20430018/).
Sehubungan dengan semakin maraknya ketersediaan media TIK untuk kegiatan pembelajaran, baik di pasaran, yang diadakan sekolah sendiri maupun yang diterima sekolah dari berbagai pihak, maka sebelum memanfaatkannya di dalam kelas, beberapa tips berikut ini perlu kiranya mendapatkan perhatian:

1. Mempelajari Materi Pembelajaran yang Dikemas dalam Media TIK
Akibat kemajuan TIK dewasa ini, para pendidik dapat mencatat daftar websites yang memang memuat materi pelajaran yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan dibahas di dalam kelas. Tidak hanya mencatat website-nya tetapi juga materi pelajaran yang dikandung di dalamnya. Penugasan peserta didik mengakses websites tertentu hendaknya dilakukan pendidik secara terencana. Demikian juga dengan alokasi waktu bagi peserta didik untuk mengerjakan tugas yang diberikan.
Jika di sekolah telah tersedia perangkat komputer dan akses ke internet, maka pendidik dapat menugaskan para peserta didiknya untuk mengunjungi websites yang dimaksudkan. Tidak hanya sekedar mengunjungi websites tertentu saja, tetapi para peserta didik juga ditugaskan untuk mendiskusikan materi pelajaran yang dikemas di dalamnya.
Mengakses websites tertentu yang ditugaskan pendidik dapat saja dilakukan peserta didik di luar jam pelajaran sekolah atau selama peserta didik masih berada di sekolah. Apabila selama berada di lingkungan sekolah, peserta didik dapat saja mengakses websites yang ditugaskan pendidik di lab komputer. Peserta didik akan merasa lebih leluasa melaksanakan tugas yang diberikan pendidik apabila ada jam pelajaran kosong. Atau, setidak-tidaknya ada satu jam pelajaran yang diperuntukkan pendidik kepada peserta didik untuk mengakses websites dan mendiskusikan materinya. Tentunya akan lebih baik lagi apabila peserta didik melaksanakan tugas di luar jam pelajaran sekolah.

2. Merencanakan Waktu Pemanfaatan Media TIK
Ada sebagian pendidik yang membawa media TIK atau media pembelajaran ke dalam kelas dan kemudian memanfaatkannya ketika dirinya merasa memerlukannya. Artinya, pemanfaatan media pembelajaran dilakukan sesuai dengan keinginannya.
Pemanfaatan media dalam kegiatan pembelajaran dilakukan secara terencana dan terintegrasi dalam jadwal pelajaran sekolah. Sebagai contoh pendidik yang akan memanfaatkan media CD atau VCD dalam kegiatan pembelajaran. Setelah mempelajari materi yang dikandung di dalam CD/VCD, maka pendidik tahu persis kapan materi tersebut akan dibahas bersama peserta didiknya. Dalam kaitan ini, pendidik dituntut membuat perencanaan pemanfaatannya. Berbagai topik program media yang terdapat dalam CD/VCD telah terlebih dahulu dipelajari pendidik sehingga dapat diintegrasikan dengan jadwal pelajaran sekolah, baik hari maupun waktunya. Dengan adanya perencanaan ini, maka peserta didik dapat dikondisikan agar peserta didik mempersiapkan diri dan fasilitas yang mereka perlukan sebelum kegiatan pemanfaatan media dilakukan. Demikian juga kesiapan pendidik itu sendiri, baik dalam mempelajari materi pelajaran yang dikemas di dalam media CD atau VCD maupun dalam mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan pendidik.

3. Mengkomunikasikan Rencana Pemanfaatan Media TIK kepada Peserta Didik
Ada 2 alasan mengapa dinilai penting mengkomunikasikan rencana pemanfaatan media TIK kepada peserta didik adalah agar peserta didik dapat mempersiapkan (a) dirinya untuk mempelajari materi pelajaran yang akan disajikan melalui media TIK dan (b) fasilitas yang diperlukan untuk mengikuti kegiatan pembelajaran melalui media TIK. Dari sisi pendidik, ada tuntutan agar pendidik lebih (a) mempersiapkan dirinya mengenai materi pelajaran yang akan dibahas, (b) mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan (dalam kondisi baik) agar tidak menjadi hambatan sewaktu pemanfaatan media TIK dilaksanakan, dan (c) mempersiapkan ruangan yang akan menjadi tempat pemanfaatan media TIK (Siahaan, 2011).
Menurut Wahap (2000)  yang mampu melakukan itu semua adalah pendidik yang mempunyai latar pendidikan sejarah dan memiliki pengalaman pelatihan dalam aspek media, metode dan materi pembelajaran sejarah. Akhirnya, pendidik sejarah harus memiliki latar belakang pendidikan sejarah dan perlu diberi pelatihan tentang media dan metode pembelajaran sejarah sehingga hasil pembelajarannya efektif.
Berbagai kelemahan yang ditemukan dalam pembelajaran sejarah selama ini, salah satu penyebabnya karena materi yang diajarkan tidak ada kaitannya dengan lingkungan sosial peserta didik. Materi pembelajaran terkesan cerita tentang tokoh, peristiwa, dan tahun yang jauh dari lingkungan peserta didik. Untuk itu, integrasi sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah merupakan suatu keharusan untuk melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran, sehingga dapat memberi makna dan kesadaran kepada peserta didik. Demikian pula penggunaan pendekatan, metode, dan media pembelajaran yang manarik seperti media teknologi informasi berupa komputer/internet, sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Pendidik sejarah selain harus mampu membuat perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, juga dituntut kemampuan untuk melakukan pengkajian sejarah lokal di sekitar peserta dididknya dan mengaksesnya di dunia maya, sehingga peserta didik tidak lagi tergantung sepenuhnya kepada pendidik di sekolah.

PERAN ILMU SOSIAL DALAM PEBELAJARAN AGAMA





A. Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, terbukti amat bermanfaat. Dengan ditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum jahit. Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya bisa 23 tusukan setiap menit (Qardhawi, 1997). Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus (?). kemudian pada abad XIX Orang Eropa perlu 2 minggu untuk memperoleh berita pembunuhan Presiden Abraham Lincoln. Tapi pada tahun 1969, dengan sarana komunikasi canggih, dunia hanya perlu waktu 1,3 detik untuk mengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di bulan (Winarno, 2004). Dulu orang naik haji dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai ke Jeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam saja. Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia.
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Pada tahun 1995, Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim bibinya setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang tuanya yang asli, ternyata telah disimpan di “bank” dan kemudian baru dititipkan pada bibinya, Elenna adik Luigi. Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal-usul sperma dan ovumnya bukan dari suami isteri. Bioteknologi dapat digunakan untuk mengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam beberapa menit saja (Bakry, 1996). Kloning hewan rintisan Ian Willmut yang sukses menghasilkan domba kloning bernama Dolly, akhir-akhir ini diterapkan pada manusia (human cloning). Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian.
Bagi bangsa Indonesia berusaha menangkal dampak Iptek bagai kehiduap berbangsa dan bermasyarakat melalui UU NO. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang menekankan pentingnya pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
 Di sinilah, peran ilmu sosial menjadi sangat penting untuk dijadikan instrumen dalam menangkal dampak negatif Iptek. Untuk itu perlu dicari kaitan ilmu sosial dengan agama dan menjadikan ilmu sosial sebagai tuntunan agar umat beragama memperoleh dampak yang positif saja dari perkembangan Ipteks, termasuk menjadikan ilmu sosial sebagai alat untuk mempercepat pemahaman dan pelestarian nilai-nilai agama.
Perkembangan ilmu pengetahuan adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan pengetahuan. Agama misalnya menurut pandangan Islam, yaitu untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak,makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem pidana).
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 jenis paradigma. Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat,
agama telah dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baiksecara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu
hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan (Al-Jawi, 2005).
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx yang ateis dan memandang agama sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat) (Ramly, 2000). Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya
sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma
sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme (Farghal, 1994).
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam
al-Qur`an dan al-Hadits menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran),
yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan
ilmu pengetahuan manusia 
 (http://groups.yahoo.com/group/pakpendidikonline /message/466).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami
dari ayat yang pertama kali turun (artinya):  “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. Al-‘Alaq [96]: 1).
Ayat tersebut berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah agama (Islam), karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995). Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT: “Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.”(Qs. An-Nisaa` [4]: 126).

B. Peran Ilmu Sosial dalam Pengembangan Iptek2009
Peran ilmu dan riset sosial kemanusiaan  sangat diperlukan dalam pengembangan iptek di Indonesia. Teknologi  suatu proses dimanapun akan sama, akan tetapi teknologi itu tidak akan dapat bermanfaat dan dapat diterima di daerah  dan masyarakat yang berbeda. Oleh karena itu, peran ilmu dan riset sosial kemanusiaan sangat diperlukan sehingga teknologi yang ditemukan dan yang akan dikembangkan  dapat mempunyai nilai manfaat yang maksimal dan dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan situasi, kondisi, budaya dan sosial masyarakat setempat. 
Pemerintah telah menyadari arti penting ilmu sosial dalam rangka pembangunan bangsa. Bagi masyarakat religius, arah pembangunan harus berujung pada peningkatan kualitas iman dan taqwa bagi umat beragama, sehingga mereka mampu membangun kehidupan yang maju dan sejahtera.
Bagi umat Islam sesuai dengan Firman Allah “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190). Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek antara tahun 700–1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Arsyad, 1992; Bahreisj, 1995).
Aqidah Islam sebagai dasar Iptek inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Muhammad SAW.
Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi, sehingga perlu perubahan fundamental, dengan cara mengganti paradigma sekuler yang ada saat ini, dengan paradigma religius (Islam) yang memandang bahwa Aqidah agama (Islam) bukan paham sekularisme yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu pengetahuan manusia. Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari agama (al-Qur`an dan al-Hadits), tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandarisasi benar salahnya dengan tolok ukur agama (al-Qur`an dan al-Hadits) dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996).
Perkembangan penemuan dan hasil  riset  bidang teknologi yang cepat tanpa melibatkan kajian dan riset-riset sosial  dan kemanusiaan tidak akan bermanfaat secara maksimal”. Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang peran ilmu dan riset sosial kemanusiaan dalam realita  hubungan pengembangan agama perlu dilakukan dalam keterkaitannya dengan perumusan kebijakan untuk mengembangkan kehidupan sosial di Indonesia sesuai Pasal 31 ayat 5 UUD-45 hasil amandemen ke-4 berbunyi bahwa Pemerintah memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejaheraan umat manusia.
Sebagian ilmuwan menyadari perlunya ada kajian sosial dan kemanusiaan yang lebih berperan dan memberi nunasa terhadap arah perkembangan teknologi yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat, jadi bukan masyarakat yang harus menyesuaikan adanya teknologi tetapi harus teknologi yang diciptaakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk pengembangan agama (http://www.ristek.go.id/?module=News+News&id=4835).

C. Peran Ilmu Sosial dalam Pembelajaran Agama
Dalam ceramah monologi cenderung pemuka agama menggunakan teknik komunikasi yang bisa menggugah pendengar/pemirsanya, sehingga sering menggunakan istilah-istilah yang populer atau ungkapan filosofis dalam suatu bahasa daerah atau bahasa asing. tidak sedikit pula pemuka agama menggunakan cerita anekdot (cerita lucu) yang relevan dengan tema ceramahnya. Dalam kaitan ini, pendidikan memegang peranan penting yang dapat menghubungan konsep ilmu sosial dengan agama, karena pendidikan mencakup 3 domain, yaitu: (1) pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pembelajaran, (2) keterampilan motorik yang dapat diperoleh melalui pelatihan, dan (3) sikap/moral/nilai yang dapat diperoleh melalui bimbingan. Ketiga domian itu dapat diterapkan secara sendiri-sendiri dan atau secara simultan, tetapi nuansa pendidikan/pembelajaran yang baik, jika dapat menerapkan ketiganya secara simultan. Penerapannya, disesuikan dengan tingkat usia, latar belakang, sasaran pembelajaran, dan sarana/media pembelajaran yang tersedia.     
Berkembangnya dinamika masyarakat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga para pemuka agama harus memanfaatkan IPTEK sebagai media pengembangan umat beragama baik dalam dimensi aqidah/ajaran agama, maupun  dalam pemberdayaan ekonomi umat (Islam=muamalat).
Perkembangan psikologis dan biologis manusia diikuti pula perkembangan kebutuhan, namun pemenuhan kebutuhan setiap fase perkembangan memerlukan suatu keterampilan tersediri. Pendekatan psikologi dalam pengembangan agama dapat dianalogikan dengan pembelajaran manusia yang dibagi tiga tahapan/pendekatan teoreris dalam upaya pengembangannya/pembelajarannya, yaitu: (1) masa anak-anak dilakukan dengan pendekatan pedagogy, (2) masa dewasa dilakukan dengan pendekatan andragogy, dan (3) masa lanjut usia dilakukan dengan pendekatan gerontology. Pandangan ini sejalan dengan konsep “Pendidikan Seumur Hidup” (Long life education) dan “Pembelajaran Sepanjang Hayat” (long life learning).
Pemuka agama harus menyesuaikan metode dakwanya sesuai dengan usia kelompok sasaran. Pertama, pendekatan pedagogi untuk kelompok anak-anak, dengan penekanan pada pemberian contoh yang baik dalam konsep Ki Hajar Dewantara Ing Madya Mangungkarsa. lebih dominan menampilkan arahan teori konstruktivisme, yang berupaya mengkonstruk sasaran sesuai dengan kehendak ajaran agama.
Misalnya berdakawah kepada kelompok anak-anak dengan memanfaatkan permainan sebagai instrumen pengembangan potensi anak melalui proses belajar sambil bermain. Dalam proses bermain ada nilai-nilai agama yang harus dimasukkan, misalnya: kejujuran, sportivitas, keberanian mengemukakan kebenaran. Contoh: permainan Patolele (Suku Tolaki/Mekongga) setiap pemain harus menghitung sendiri poin yang diperolehnya dengan menghitung jarak lemparan anak patolele yang memakai induk patolele. pada akhir permainan, jika kalah harus mengakui kekalahan dan jika menang tidak menyombongkan diri. Patolele ini dibuat dalam dua bagian yaitu pemukulnya (polangguno) induknya dan alat yang akan dipukul (palele). Pemukul alat patolele ini berukuran 4  jengkal tangan atau sekitar 72 cm dan anaknya berukuran 1 jengkal tangan atau sekitar 18 cm. Permainan ini dimainkan oleh 3 orang atau 5 orang. perhitungan nilai menggunakan tongkat (polangguno) kelipatan 10 diukur dengan berapa tongkat dari posisi anak patolele tersebut menuju lubang pemukulan (Anwar, 2010).
Seorang pemuka agama/pendeta harus mampu memilih permainan yang memiliki Lima karakter bermain siperti dikatakan Mulyadi (1997), yaitu: (1) sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai positif, (2) didasari motivasi yang muncul dari dalam diri anak, (3) spontan dan sukarela, (4) melibatkan peran aktif anak, dan (5) memiliki hubungan sistematik dengan sesuatu yang positif, seperti: kreativitas, bersosialisasi, sportivitas.
Bukankah tempat-tempat ibadah dapat dijadikan sebagai media/tempat bagi anak untuk bermain sambil beribadah, seperti: di gereja anak-anak belajar menyanyi relegi yang selanjutnya dilagukan saat beribadah yang sesungguhnya, di Masjid anak-anak belajar mengaji dengan suara merdu, belajar/lomba azan, belajar menyanyi religius/kasidah.
Kedua, pendekatan andragogi. Ketika manusia menjadi dewasa, maka kebutuhannya semakin meningkat, pengalamannya semakin banyak, demikian pula manusia yang hidup di era modern, tingkat kecerdasannya semakin tinggi. kondisi tersebut tidak terlepas dari karakter industri sebagai hasil penerapan, pengembangan, dan pemanfaatan IPTEK yang menjadi daya dorongnya. Kecenderungan masyarakat industri yang kecerdasan emosional, spiritual, dan sosialnya mengalami penurunan, telah menjadi kekhawatiran berbagai pihak. oleh karena itu, bagi masyarakat industri, perlu dikembangkan strategi dakwah/penyiaran agama yang dapat menjamin tetap eksisnya kecerdasan spiritual, emosional, dan sosial (Sumaatmadja, 2002).  Kelompok sasaran orang dewasa ini pemuka agama harus menempatkan diri sebagai fasilitator Oleh Ki Hajar Dewantara disebutnya Ing ngarso suntulodo memberi semangat karena berangkat dari asumsi bahwa mereka telah memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman sehingga lebih banyak bersifat melakukan konfirmasi terhadap pengetahuan dan pengalaman awal kelompok sasaran atau tidak mengpendidiki mereka. Arah pembelajaranb mereka lebih condong pada teori belajar sosial yang dalam implementasinya digunakan pendekatan andragogi.
Konsep andragogi didasarkan pada empat asumsi tentang karakteristik peserta didik (1) konsep diri bergerak dari seseorang pribadi yang bergantung ke arah pribadi yang mandiri, (2) manusia mengakumulasikan banyak pengalaman yang diperolehnya sehingga menjadi suatu sumber belajar yang berkembang, (3) kesiapan belajar manusia secara meningkat diorientasikan pada tugas perkembangan peran sosial yang dibawa, dan (4) perspektif waktunya berubah dari satu pengetahuan yang tertunda penerapannya menjadi penerapan yang segera, seiring dengan orientasinya terhadap belajar beralih dari satu orientasi terpusat pada mata pelajaran kepada orientasi terpusat pada masalah (Knowles, 1981).
Hendrickson menguraikan sembilan prinsip pembelajaran orang dewasa, yaitu: (1) pembelajaran yang baik memperhatikan pengalaman belajar negatif  pada masa lalu, dan mendorong pembelajar untuk meraih keberhasilan di masa datang, (2) memperbaiki hubungan antara suasana sosial yang menyenangkan dan suasana pendidikan yang memuaskan, (3) kecepatan belajar peserta didik, (4) tidak hanya memperhatikan kebutuhan terhadap satu pengalaman keberhasilan, tetapi juga kebutuhan terhadap beberapa pengalaman keberhasilan, (5) mengakui keabsahan prinsip keterlibatan, (6) mengakui orang dewasa sebagai sumber pembelajaran yang utama, (7) mengakui bahwa tujuan orang dewasa itu bersifat konkrit dan harus segera dicapai, (8) memperhatikan kedudukan faktor motivasi dalam proses belajar, dan (9) mengakui kelelahan fisik dan mental sebagai faktor penghambat proses belajar orang dewasa (Soebari, 2000).
Pembelajaran dengan pendekatan andragogi didasarkan atas tiga asumsi menurut Knowles (1980). Ketiga asumsi tersebut adalah: (1) orang dewasa dapat belajar, dasar kemampuan belajarnya tetap ada sepanjang hidupnya, jika mereka tidak menampilkan kemampuan belajar yang sebenarnya maka ada faktor penyebabnya, seperti mereka telah lama meninggalkan belajar sistematis atau adanya faktor fisiologik, (2) belajar sebagai proses internal, pentingnya implikasi pada praktek pembelajaran orang dewasa sebagai proses internal, maka semua metode dan teknik yang digunakan harus mampu melibatkan individu secara mendalam untuk mengembangkan dirinya dalam menciptakan pembelajaran yang baik, (3) dalam pembelajaran orang dewasa terdapat kondisi umum dan prinsip-prinsip pembelajaran yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan melalui proses pembelajaran yang transaksional. Kondisi dan prinsip-prinsip pembelajaran dimaksud disajikan pada tabel berikut.


Tabel 1
Kondisi Belajar dan Prinsip Pembelajaran Andragogi
Kondisi Belajar
Prinsip-prinsip Pembelajaran
1.  Peserta merasa ada kebutuhan untuk belajar








2.  Lingkungan belajar ditandai oleh keadaan fisik yang menyenangkan, saling menghormati, mempercayai, membantu kebebasan mengemukakan pendapat dan menyetujui adanya perbedaan.














3.  Peserta memandang tujuan pengalaman belajar sebagai tujuannya.

4.  Peserta setuju saling urut tanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan pengalaman belajar, dan sampai saat itu ada perasaan terhadap komitmen.

5.  Peserta berpartisipasi secara aktif  dalam proses pembelajaran.



6.  Proses pembelajaran dikaitkan dan menggunakan pengalaman peserta.











7.  Peserta merasakan akan kemajuan tujuan belajarnya.

1.  Fasilitator mengemukakan kepada peserta kemungkinan baru untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
2.  Fasilitator membantu peserta memperjelas aspirasi dirinya untuk meningkatkan perilakunya.
3.  Fasilitator membantu peserta mendiagnosa perbedaan antara aspirasi dengan tingkat penampilannya sekarang.

4.  Fasilitator membantu peserta memecahkan masalah kehidupan yang dialami karena adanya perbedaan tadi.
5.  Fasilitator memberikan kondisi fisik yang menyenangkan seperti tempat duduk, ventilasi, lampu, dan sebagainya yang kondusif untuk menciptakan interaksi antar satu peserta dengan peserta lainnya.
6.  Fasilitator memandang bahwa setiap peserta merupakan pribadi yang bermanfaat dan menghormati perasaan serta gagasannya.
7.  Fasilitator membangun hubungan saling membantu antara peserta dengan mengembangkan kegiatan bersifat komprehensif, mencegah adanya persaingan, dan saling memberikan penilaian.
8.  Fasilitator membuka diri atau menerima apa adanya dan sumber-sumber kontribusi sebagai suatu bentuk kerjasama pembelajaran dalam semangat saling pencarian bersama.

9.  Fasilitator melibatkan peserta dalam merumuskan tujuan belajar dengan memperhitungkan kebutuhan peserta, lembaga, fasilitator, dan masyarakat.

10. Fasilitator ikut urun ide dalam merencanakan pengalaman belajar, memilih bahan, metode, dan melibatkan peserta dalam setiap keputusan bersama.





11.  Fasilitator membantu mengorganisasikan dirinya (kelompok kegiatan, tim belajar-mengajar, studi independen, dan sebagainya) untuk bertanggung jawab dalam pencarian bersama.

12.  Fasilitator membantu peserta menggunakan pengalaman mereka sendiri sebagai sumber belajar melalui teknik diskusi, permainan peran, studi kasus, dan sebagainya.
13.  Fasilitator menyampaikan presentasinya berdasarkan sumber dari peserta dan sesuai dengan tingkat pengalaman mereka.
14.  Fasilitator membantu peserta mengaplikasikan pembelajaran baru terhadap pengalaman mereka dan ini berarti membuat belajar lebih bermakna dan terpadu.

15.  Fasilitator melibatkan peserta dalam mengembangkan kriteria yang disetujui bersama dan menggunakan metode tertentu dalam mengukur tujuan belajar.
16.  Fasilitator membantu peserta mengembangkan dan mengaplikasikan prosedur dalam mengevaluasi diri sendiri berdasarkan keriteria itu.
Sumber: Knowles (1980).
Berdasarkan tabel tersebut, nampak bahwa fasilitator harus mampu merangsang peserta didik dengan berbagai strategi untuk aktif dalam setiap tahap pembelajaran sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Kondisi dan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut sangat relevan dalam pembelajaran keterampilan keagamaan, karena selama ini kegiatan pembelajaran berlangsung tanpa adanya perencanaan yang secara aktif dapat memperhatikan kondisi dan prinsip tersebut.
Pine dan Horne mengemukakan sembilan prinsip pembelajaran yang terkait dengan orang dewasa: (1) belajar adalah pengalaman yang terjadi dalam diri pembelajar dan diaktifkan oleh pembelajar itu sendiri, (2) belajar adalah penemuan makna pribadi dan relevansi gagasan, (3) belajar adalah konsekuensi dari pengalaman, (4) belajar adalah proses kooperatif dan kolaboratif, (5) belajar adalah proses evaluasi, (6) belajar kadang-kadang merupakan proses yang menyakitkan, (7) salah satu sumber belajar yang paling kaya adalah pembelajar itu sendiri, (8) proses belajar bersifat emosional, intelektual dan pemecahan masalah, (9) proses belajar sangat unik dan bersifat individual (Soebari, 2000).
Orang dewasa belajar harus diperhatikan gaya belajar yang khas masing-masing individu, sehingga mereka mau dan mampu belajar menyeseuaikan diri dengan lingkungan pembelajaran dan materi pembelajaran. Mereka cenderung selalu mau mengaitkan kegiatan dan materi ajar memiliki muatan ekonomi.
Ketiga, pendekatan gerontologi. Kelompok manusia lanjut usia, yang selama ini diasumsikan tidak bisa lagi belajar dan tidak mau lagi belajar. Tentu ini keliru dan terbantahkan dengan lahirnya teori gerontologi (seni mendidik manusia lanjut usia). Kelompok manusia lanjut usia ini dalam konsep Ki Hajar Dewantara disebut Tut Wuri Handayani. biarkan mereka berkembang ikuti dari belakang. Orang lanjut usia kaya dengan pengetahuan dan pengalaman, sehingga pemuka agama cukup merangsang/memotivasi mereka sehingga dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki berupa pengetahuan dan pengalaman yang begitu kompleks. Sehingga diperlukan dialog dengan menempatkan mereka sebagai orang yang bisa membagi pengalaman dan pengetahuannya kepada orang lain.
Gaya belajar orang lanjut usia cenderung lebih variatif dibanding orang dewasa, orientasi belajar mereka selalu dikaitkan dengan pengalamannya, berbasis sosial budaya, dan religius. Para orang lanjut usia cenderung mengpendidiki orang lain, sehingga pemuka agama sebagai pendidik, harus menempatkan mereka sebagai orang yang dituakan, sehingga pemuka agama harus mampu menyesuaikan gaya belajar mereka dengan mengarahkan arah pembicaraan atau arah belajar mereka.

D. Strategi Pemanfaatan Ilmu Sosial dalam Pembelajaran Agama
Dalam kaitan dengan metode dan media pembelajaran agama, kemajuan teknologi digital, menjadi salah satu dasar penjelajahan manusia tanpa fisik, tanpa tatap muka, manusia dapat berkomunikasi. Penjelajahan semacam ini, selain meningkatkan kecerdasan intelektual, menghemat biaya, waktu, dan tenaga, namuan dapat menghambat suasana emosional, spiritual dan sosial. Oleh karena itu, para tokoh agama sebagai agen perubahan, perlu melakukan invensi dan atau mengadopsi model-model pembedayaan dalam dimensi sosial, sehingga dapat diterapkan dalam pengembangan agama.
1.  Pemanfaatan model bisnis multi level, dan social marketing dalam manajem pemasaran, melalui pesan-pesan ajaran agama dari seseorang dapat disebar-luaskan melalui SMS, sehingga suatu nilai/ajaran agama dapat transpormasikan secara cepat dengan populasi sasaran yang lebih besar dan pesan yang diterima secara utuh dari tokoh agama kepada umatnya.
2.  Pemanfaatan media berbasis sosial budaya, misalnya untuk kepentingan pemahaman nilai-nilai Agama Hindu dengan metode apa yang disebut Dharma Wacana (Khutbah=Islam). Dharma Wacana adalah sebuah metode penyuluhan agama Hindu yang akhir-akhir ini telah mendapat tempat di hati umat Hindu di Indonesia. Namun, khusus di Bali lebih dominan menggunakan Bahasa Bali dibandingkan dengan Bahasa Indonesia. Dicontohkan tokoh Ida Pedanda Made Gunung yang setiap hari memberikan dharma wacana ke seluruh pelosok ia dengan santun dan menarik menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dalam setiap ceramahnya (Suastika, 2008).
3.  Pemanfaatan media fotonovela dengan menampilkan dua potret kehidupan di satu sisi poteret kehidupan yang tidak diinginkan (bertentangan dengan ajaran agama), dan di sisi lain potret kehidupan yang diinginkan atau yang sesuai dengan ajaran agama yang sedang diajarkan. 
4.  Pembelajaran tolerasi melalui muatan ajar multikulturalisme sesuai dengan rekomendasi UNESCO bahwa pada abad XXI program pendidikan hendaknya mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat sehingga mau dan mampu belajar (learning to know or learning to learn). Bahan belajar yang dipilih hendaknya mampu memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada peserta didiknya  (learning to do), dan mampu memberikan motivasi untuk hidup dalam era sekarang dan memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning to be). Bahan belajar, selain untuk dirinya sendiri, juga keterampilan untuk hidup bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan hidup dalam pergaulan antar bangsa-bangsa dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (leaning to live together) (Delors, 1996).
Firman Allah SWT: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (Qs. Al-Hujuraat [49]: 13).  Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari sumber kaum non muslim. Dulu Nabi Muhammad SAW menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi Muhammad SAW juga pernah memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Kristen. Umar bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum non-muslim (http://groups.yahoo.com/group/pakpendidikonline/message/466).
Indonesia adalah Negara yang penduduknya dikenal religius, karena itu peranan Ilmu pengetahuan termasuk Ilmu-ilmu sosial sangat penting. Mengutip pernyataan “Mesthene” bahwa teknologi tidak dapat selalu menghadirkan kebaikan, tanpa kontribusi dari penelitian Ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam pengembangan Teknologi di masa depan seperti yang terjadi selama ini, maka “kekhawatiran Faustian” bahwa pemberian kepercayaan yang terlalu besar kepada perkembangan teknologi sama maknanya dengan membuat perjanjian dengan setan, akan dapat benar-benar menjadi sebuah kenyataan..
Belajar dari sejarah panjang pengalaman Negara-negara maju, kita mengetahui bahwa perkembangan Teknologi dan Ilmu pengetahuan yang telah melahirkannya tidak selalu menghasilkan “kebaikan” (tonic potentialities). Akan tetapi seringkali juga melahirkan “persoalan”(toxic potentialities). Perkembangan teknologi bahkan seringkali memiliki kecendrungan lebih banyak menghasilkan kemudharatan dari pada kecendrungannya menghasilkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, masyarakat, dan lingkungan (http://www.timorexpress.com/index.php?act=news &nid=40695).
Pembelajaran agama melalui ilmu sosial dapat mendekatkan umat beragama kepada nilai-nilai sosial budaya, termasuk memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran, sehingga mempermudah pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama. Tanpa adanya upaya mengadopsi dan mengadaptasi model yang berkembang dalam kehidupan sosial atau teori-teori ilmu sosial tersebut, maka pemuka agama akan ditinggalkan oleh umatnya. 
Sepanjang sejarah, peradaban telah bergantung pada ilmu pengetahuan dan agama sebagai dua sistem utama pengetahuan yang telah membimbing pengembangan intelektual dan moral. Metode ilmu pengetahuan telah memungkinkan manusia untuk membangun pemahaman yang koheren. Pencerahan, pada kenyataannya, menandai titik balik penting dalam melepaskan kesadaran manusia dari belenggu pemahaman agama yang ortodoksi dan fanatisme. Melalui konsep ilmu sosial dapat memperkuat basis metode dan strategi pembelajaran agama bagi pemuka agama dan seluruh umat beragama.
Dalam konteks globalisasi idiologi industrialisasi dan kapitalisme yang saat ini menjadi semakin problematik oleh karena basis rasionalitas cara berpikir banyak orang, sehingga dipandang perlu: (1) Para pemuka agama harus menjadi “Juru bicara” dari kelompoknya yang kepentingan mereka diartikulasikan dalam kehidupan sehari-hari, (2) Para ilmuwan sosial harus membangun komitmen dan kerjasama, dalam melihat persoalan-persoalan pada abab 21 ini dengan lebih kritis dan jujur, untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan agama baik dalam konteks Indonesia maupun dalam konteks Global. Pentingnya Ilmu-ilmu sosial dalam pembelajaran agama yaitu memperkaya model dan metode penerapan dakwah bagi para pemuka agama, dengan mengadopsi unsur-unsur inovatif dan strategis dari berbagai cabang disiplin ilmu sosial.