A. Konsep Pembelajaran
Efektivitas
pembelajaran dapat dikaji dari beberapa aspek,
diantaranya: perangkat pembelajaran, proses, karakteristik pendidik, dan hasil belajar. Semua
aspek tersebut saling terkait dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran.
Sedangkan tujuan pembelajaran (pendidikan) mencakup tiga aspek, yaitu:
koqnitif, affektif, dan psikomotorik. Tujuan kognitif berkaitan dengan usaha pengembangan intelektual peserta
didik, afektif berhubungan dengan perkembangan sosial dan emosional, sedangkan
psikomotorik berkenaan dengan perkembangan aspek ketrampilan peserta didik. Hal
itu berarti pembelajaran dapat dikatakan berkualitas apabila mampu
mengembangkan aspek-aspek tersebut pada diri peserta didik. Pembelajaran yang efektif adalah memungkinkan peserta didik mendapatkan
ketrampilan, pengetahuan, dan sikap yang telah ditetapkan.
Pembelajaran
harus dilandasi dengan penciptaan lingkungan yang memungkinkan peserta didik
untuk belajar. Pada umumnya pendidik kurang menyadari peranannya dalam
membina pelajaran sejarah. Hal ini tercermin dari seringnya pembelajaran di
sekolah mendapat sorotan tajam dari masyarakat, karena ternyata pembelajaran
sejarah diselenggarakan dengan cara-cara yang kurang memadai (Widja, 1989).
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik secara
eksternal maupun internal. Faktor-faktor eksetrnal mencakup pendidik, materi,
pola interaksi, media dan teknologi, situasi belajar dan sistem. Masih ada
pendidik yang kurang menguasai materi dan dalam mengevaluasi peserta didik, menuntut jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan. Peserta
didik tidak diberi peluang untuk berfikir kreatif. Pendidik
juga mempunyai keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia
mengetahui perkembangan terakhir di bidangnya dan kemungkinan perkembangn yang lebih jauh dari yang sudah dicapai
sekarang. Sementara itu materi
pembelajaran dipandang oleh peserta didik terlalu teoritis, kurang memanfaatkan
berbagai media secara optimal.
Beberapa pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan memberikan pendapat
tentang fenomena pembelajaran sejarah yang terjadi di Indonesia diantaranya
masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi dan buku
ajar atau buku teks, dan profesionalisme pendidik
sejarah. Kenyataan yang ada
sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari harapan untuk memungkinkan peserta
didik melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini dan masa
depan. Pembelajaran sejarah
cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama. Tidak aneh
bila pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik, dan tidak memberi
kesempatan kepada anak didik untuk belajar menggali makna dari suatu peristiwa sejarah.
Strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah.
Pendidikan sejarah di sekolah masih cenderung menuntut anak agar menghafal
suatu peristiwa. Peserta didik tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu
peristiwa guna memahami dinamika suatu perubahan. Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya
tidak lepas dari pengaruh budaya yang telah mengakar. Model pembelajaran yang
bersifat satu arah dimana pendidik menjadi sumber pengetahuan utama dalam
kegiatan pembelajaran menjadi sangat sulit untuk diubah. Pembelajaran sejarah
saat ini mengakibatkan peran peserta didik sebagai pelaku sejarah pada zamannya
menjadi terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh peserta
didik sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan belar di kelas, sehingga menempatkan peserta didik sebagai
peserta pembelajaran sejarah yang pasif. Kekurang cermatan pemilihan strategi pembelajaran akan berakibat fatal bagi pencapaian tujuan (Widja,
1989).
Masalah profesionalisme pendidik sejarah juga masih dipertanyakan, sampai
saat ini masih berkembang kesan dari para pendidik, pemegang kebijakan di
sekolah bahwa pelajaran sejarah dalam mengajarkannya tidak begitu penting
memperhatikan masalah keprofesian, sehingga tidak jarang tugas mengajar sejarah
diberikan kepada pendidik yang bukan profesinya. Akibatnya, pendidik
mengajarkan sejarah dengan ceramah mengulangi isi yang ada dalam buku.
Sementara itu terlalu banyak sekolah yang memposisikan pendidik sejarah sebagi
orang buangan, dan mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap. Selain
itu, sebagian besar pendidik sejarah juga tidak mengikuti perkembangan hasil penelitian dan penerbitan buku
sejarah yang mutakhir. Hal yang terekhir itu
juga berkaitan denagn adanya kenyataan bahwa institusi resmi yang menjadi
tempat pendidikan tambahan bagi pendidik sejarah itu hanya berfokus pada substansi historis dan metode pembelajaran sejarah yang tertinggal jauh (Purwanto, 2006).
Pembelajaran sejarah di
sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal. Pelajaran sejarah seolah
sangat mudah dan digampangkan. Banyak pendidik yang tidak memiliki
berlatar belakang pengetahuan/pendidikan sejarah, tetapi mengajar sejarah di sekolah. Sesuai dengan ketetapan UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas dan PP No. 19 tahun 2005, maka pengembangan kurikulum pendidikan sejarah di SD, SMP, SMA menjadi tanggung jawab masing-masing sekolah tersebut. Melalui
pengembangan dan penempatan sejarah lokal sebagai materi kurikulum yang dasar,
terlepas apakah materi tersebut dikemas dalam mata pelajaran sejarah ataukah
mata pelajaran lain. Posisi materi sejarah lokal dalam kurikulum dianggap
penting karena pendidikan harus dimulai dari lingkungan terdekat dan peserta
didik harus menjadi dirinya sebagai anggota masyarakat terdekat
Para
ahli kurikulum mengajukan kritik terhadap pembelajaran sejarah yang
didominasi bahan hafalan, lebih
menekankan memorisasi dan mengabaikan usaha pengembangan kemampuan intelektual
yang lebih tinggi, tidak relevan dengan kebutuhan peserta didik (Partington,
1980). Meskipun kritik tersebut bertolak dari kenyataan yang ada di Inggris,
tetapi kenyataannya juga berlaku di Indonesia. Untuk itu, perlu ada usaha untuk
mengembangkan alternatif baru dalam proses pembelajaran sejarah di sekolah
karena secara pedagogis sangat lemah. Selama ini pembelajaran sejarah di
sekolah terlalu indoktrinatif dan tidak menjadikan anak berpikir kreatif
Metode
pembelajaran sejarah semacam ini telah menjadikan pelajaran sejarah
membosankan, karena tidak memberikan sentuhan emosional, peserta didik merasa
tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Metode pembelajaran yang kaku
berakibat buruk untuk jangka waktu panjang dan berpotensi memunculkan generasi
yang mengalami "amnesia sejarah" yaitu melupakan sejarah bangsa sendiri.
Penelitian Govinthasamy (2002)
menunjukkan bahwa pendidik-pendidik sejarah kurang mementingkan
penerapan KBKK (Kemahiran Berfikir Kreatif dan Kritis) dalam pembelajarannya.
Pembelajaran
sejarah di sekolah selama ini kurang menarik,
bahkan sering dianggap membosankan, dan dirasakan hanya sebagai rangkaian
fakta-fakta yang berupa urutan tahun, tokoh dan peristiwa belaka yang jauh dari
lingkungan sosial peserta didik, terutama di luar Jawa, karena selama ini
materi kurikulum didominasi peristiwa sejarah di Pulau Jawa, sementara
peristiwa dan peran tokoh di daerah lain yang tidak sedikit dan tidak kalah
pentingnya termasuk di Sulawesi Tenggara tidak pernah termuat dalam buku/bahan
ajar. Materi pembelajaran sejarah yang diberikan kepada peserta didik SD hingga
SLTA tidak berbeda. "Proklamasi kemerdekaan RI dan Perang Diponegoro,
misalnya, dipelajari dari SD hingga SLTA, sehingga membosankan. Akhirnya
pelajaran sejarah benar-benar bisa mengajarkan kearifan hidup bagi peserta
didiknya. Untuk itu masalah tawuran anak sekolah yang kerap terjadi, bukan
semata-mata persoalan budi pekerti, tetapi juga karena ada
kesalahan dalam pembelajaran sejarah.
Salah
satu usaha pengembangan pembelajaran sejarah adalah dikembangkannya suplemen
kurikulum muatan lokal atau Kurikulm Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Inti
muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya
dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan
kebutuhan daerah, serta wajib dipelajari oleh peserta didik di daerah itu.
Hasil Penelitian Sayono (2001) menunjukkan
perlunya penyempurnaan kurikulum pembelajaran sejarah dengan menempatkan
sejarah lokal sebagai bahan ajar. Hal ini untuk menghindarkan peserta didik
tercabut dari akar sosio-kulturalnya, karena materi sejarah yang paling dekat
dengan kondisi psikologis peserta didik adalah sejarah lokal. Kedudukan sejarah
lokal sangat urgen dalam pembelajaran sejarah, dan diharapkan ada kesinambungan
dalam pemikiran peserta didik agar dapat merasa bahwa diri dan lingkungannya
merupakan bagian dari kehidupan yang lebih luas yakni negara kesatuan Republik
Indonesia
Tujuan
penerapan sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah di sekolah adalah (1)
bahan belajar akan lebih mudah diserap peserta
didik, (2) sumber belajar di daerah dapat lebih mudah dimanfaatkan untuk
kepentingan pendidikan, (3) peserta didik lebih mengenal kondisi lingkungan,
(4) peserta didik dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya, (5) peserta
didik dapat menolong diri dan orang tuanya dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidupnya, (6) peserta didik dapat menerapkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang dipelajarinya untuk
memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya, (7) peserta didik menjadi
akrab dengan lingkungannya (Widja, 1989), dan peserta didik makin kreatif,
inovatif, patriotik, dan cinta tanah air.
Mencermati
perkembangan masyarakat yang begitu
kompleks, maka perlu kurikulum
berwawasan lokal berstandar Internasional, karena perkembangan kurikulum
sejarah tidak terlepas dari faktor eksternal dan internal. Kurikulum nasional
yang disusun berdasarkan kompetensi dasar dalam bentuk Standar Internasional,
akan memberikan peluang luas kepada daerah untuk mengembangkan muatan lokal
dalam pembelajaran sejarah, sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah. Dalam
mengembangkan kurikulum bermuatan sejarah lokal dapat dikemas dengan cara
menjabarkan dan menambah bahan kajian dari KTSP mata pelajaran sejarah. Untuk
dapat mengembangkan muatan sejarah lokal dengan baik perlu kiranya tetap
menggunakan pendekatan-pendekatan yang berlaku dalam sejarah nasional yaitu
faktual, prosesual, pemecahan masalah, dan tematis. Pendekatan tematis
memerlukan pengembangan sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah perkebunan,
dan sejarah peradaban, yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi daerah
masing-masing.
Pengembangan
pembelajaran sejarah bermuatan lokal perlu pula mencermati arah materi sejarah
yang bersifat Indonesia sentris, arah gerak sejarah Bangsa Indonesia yang
semula ditentukan oleh kaum elit/penguasa, menuju ke gerak sejarah yang tidak
hanya ditentukan oleh kaum penguasa, tetapi oleh rakyat Indonesia. Dalam
menghadapi tantangan pembelajaran sejarah yang demikian ini peran pendidik
sejarah benar-benar menentukan selain sebagai pelaksana kurikulum dan
pengembang kurikulum sejarah, juga harus mampu melakukan pengkajian sejarah
lokal di sekitar tempat tugasnya.
B. Pengintegrasian Sejarah Lokal dalam
Pembelajaran Sejarah
Pengintegrasian
sejarah lokal dalam tulisan ini adalah pemuatan sejarah dalam lingkup yang
terbatas meliputi suatu lokasi tertentu. Perlunya pemuatan sejarah lokal karena
untuk mengetahui kesatuan yang lebih besar, bagian yang lebih kecil pun harus
dimengerti dengan baik. Seringkali hal-hal yang ada di tingkat nasional baru bisa
dimengerti dengan baik, apabila kita mengerti dengan baik pula perkembangan di
tingkat lokal. Pengembangan penulisan yang bersifat nasional seperti selama
ini, sering kurang memberi makna bagi orang-orang tertentu, terutama yang
terkait dengan sejarah wilayahnya sendiri (Lapian, 1980).
Banyak
bagian sejarah bangsa Indonesia, bukan saja tidak pernah dihayati, tetapi juga
tidak pernah dibayangkan karena kurangnya informasi tentang peristiwa itu,
sehingga ada begian-bagian sejarah daerah kita sendiri yang luput dari
masyarakat pembaca sejarah. Sebagai contoh keterbatasan pengetahuan orang-orang
(bahkan yang berasal dari daerah itu sendiri) tentang peranan penting serta
perkembangan detail dari kerajaan Wolio, Wuna, Konawe, Mekongga, dan Laiwoi.
Ataupun arti penting serta detail dari bentuk-bentuk pemerintahan yang pernah
berkembang di Indonesia seperti Barata di Wuna dan Buton, serta Pitu Dula Batu
di Kerajaan Konawe. Masih banyak lagi bisa dipakai contoh tentang kasus-kasus
objek studi sejarah lokal yang tidak begitu dikenal di lingkungan masyarakat
Indonesia.
Peninggalan
gua prasejarah di Muna, Al-Qur’an 30 juz tulisan tangan di atas kertas yang
berasal dari bahan baku kulit kayu yang ditemukan di Muna, perjuangan rakyat
Buton melawan Jepang, perlawanan rakyat Kolaka dan Kendari melawan Sekutu dan
Belanda yang mencapai puncaknya pada saat peristiwa 19 November 1945. Rangkaian
peristiwa tersebut belum banyak ditulis sehingga tidak dipahami masyarakat di
Sulawesi Tenggara. Dengan demikian, kepentingan mempelajari sejarah lokal,
pertama-tama adalah untuk mengenal berbagai peristiwa sejarah di wilayah
terdekat dengan lebih baik dan lebih bermakna.
Sejalan
dengan itu, Lapian (1980) menunjukkan kepentingan lebih lanjut dari kajian
secara lokal, yaitu: “untuk bisa mengadakan koreksi terhadap
generalisasi-generalisasi yang sering dibuat dalam penulisan sejarah nasional”.
Sebagai ilustrasi masalah generalisasi yang menyangkut periodisasi sejarah
Indonesia yang sering diberi istilah Zaman Hindu. Pada kenyataannya ada daerah-daerah
yang tidak mengenal periode zaman Hindu (seperti Sangir-Talaud, Sewu, Rote, dan
Wilayah Sulawesi Tenggara). Ada pula daerah-daerah yang sampai sekarang masih
berpegang pada Hinduisme (seperti Bali, dan sebagian Lombok). Di sini juga
nampak bahwa pengembangan penulisan sejarah lokal akan memberikan bahan
pengecekan terhadap anggapan teoritis yang bersifat menggeneralisasikan
masalahnya untuk seluruh Indonesia.
Ada beberapa aspek positif dalam
pembelajaran sejarah lokal, baik yang bersifat edukatif psikologis maupun yang
bersifat kesejarahan sendiri. Pertama, mampu
membawa peserta didik pada situasi ril di lingkungannya dan mampu menerobos
batas antara dunia sekolah dan dunia nyata di sekitar sekolah. Dilihat secara
sosio-psikologis bisa membawa peserta didik secara langsung mengenal dan
menghayati lingkungan
masyarakatnya, dimana mereka merupakan bagian di dalamnya (Mahoney, 1981).
Kedua,
pembelajaran sejarah lokal, akan lebih mudah membawa peserta didik pada
usaha untuk mengenang pengalaman masa lampau masyarakatnya dengan melihat
situasi masa kini, bahkan dapat memproyeksikan
peluang dan tantangan pada yang akan datang. Dalam pembelajaran sejarah
lokal peserta didik akan mendapatkan banyak contoh dan pengalaman dari berbagai
tingkat perkembangan lingkungan masyarakatnya, termasuk situasi masa kini.
Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menangkap konsep perubahan yang
menjadi kunci penghubung antara masa lampau, masa kini, dan masa yang akan
datang.
Kalau dihubungkan dengan teori J.
Bruner maupun dalam hubungan dengan konsep-konsep pendekatan proses, maka
pembelajaran sejarah lokal sangat mendukung prinsip pengembangan kemampuan
peserta didik untuk berpikir aktif, kreatif dan struktural konseptual. Hampir
semua prinsip dalam rangka pembelajaran peserta didik aktif sangat relevan dengan kegiatan pembelajaran
yang bermuatan sejarah lokal. Sesuai dengan sifat materi serta sumber sejarah
lokal, maka peserta didik akan terdorong untuk menjadi lebih peka lingkungan,
begitu juga mereka akan lebih terdorong mengembangkan keterampilan-keterampilan
khusus seperti: mengobservasi, teknik bertanya atau melakukan wawancara,
mengumpulkan dan menyeleksi sumber, mengadakan klasifikasi serta
mengidentifikasi konsep, bahkan membuat generalisasi, kesemuanya itu mendorong
bagi perkembangan proses belajar bersifat discovery
inquiry.
Jika dihubungkan dengan pendekatan
kurikulum yang bersifat integratif beberapa mata pelajaran menjadi satu
kelompok, dalam Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), maka melalui pembelajaran
bermuatan sejarah lokal nampaknya integrasi itu akan lebih mudah diwujudkan.
Secara bersama-sama mata pelajaran seperti: ekonomi, geografi dan sejarah bisa
juga dikelompokkan sebagai “pembelajaran lingkungan masyarakat setempat” (local community studies). Dalam wadah
pembelajaran lingkungan masyarakat setempat, aspek-aspek kehidupan ekonomi,
sosial, geografis serta aspek perkembangan suatu masyarakat dalam sutu lokasi
tertentu sulit dipisahkan dengan tegas. Semua unsur kelompok mata pelajaran ini
saling terkait dan menjelma dalam wujud kehidupan nyata dari masyarakat secara
keseluruhan (Berry dan Schug, 1984).
Pembelajaran bermuatan sejarah lokal
mengharapkan peserta didik maupun pendidik harus berhubungan dengan sumber-sumber
sejarah, baik yang tertulis maupun informasi lisan, baik berupa dokumen maupun
benda-benda seperti: bangunan, alat-alat, peta dan sebagainya yang mula-mula
harus dikumpulkan, kemudian dikaji (dikritik) serta diinterpretasikan sebelum
bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran sejarah lokal. Untuk itu, pendidik
sejarah perlu suatu persiapan khusus sebelum pembelajaran bermuatan sejarah
lokal bisa dilaksanakan secara efektif.
Kesulitan lain adalah memadukan
tuntutan pembelajaran sejarah lokal dengan tuntutan penyelesaian target materi
yang telah tertulis dalam kurikulum. Pada umumnya dalam kurikulum sudah
ditentukan sejumlah materi dan pokok-pokok bahasan yang harus diselesaikan
sesuai dengan alokasi waktu yang sudah ditentukan dengan ketat. Dengan demikian
pendidik akan mengalami dilema antara memenuhi tuntutan kurikulum dengan usaha
pengembangan pembelajaran bermuatan sejarah lokal yang memerlukan waktu yang
relatif banyak, baik untuk persiapan maupun untuk pelaksanaan kegiatan
pembelajaran sejarah lokal yang dilakukan di luar kelas.
Terkait dengan permasalahan tersebut, Douch (1967) mengemukakan tiga model pembelajaran sejarah
lokal. Pertama, pendidik sejarah
hanya mengambil contoh-contoh dari kejadian lokal untuk memberi ilustrasi yang
lebih hidup dari uraian sejarah nasional maupun sejarah dunia yang sedang
diajarkan. Di sini jelas tidak akan ada masalah bagi usaha yang mengaitkan
sejarah lokal dengan kurikulum pembelajaran sejarah yang berlaku, karena tidak
ada pengambilan alokasi waktu yang sudah disediakan dan tidak ada kegiatan
khusus di luar kelas yang harus dilakukan pendidik dan peserta didik.
Kedua, dilakukan
dalam bentuk kegiatan penjelajahan lingkungan. Di sini sudah ada usaha memberi
porsi yang lebih nyata dari kegiatan belajar peserta didik dengan aktivitas
kesejarahan di luar kelas. Dalam bentuk ini peserta didik selain belajar
sejarah di kelas, juga diajak ke lingkungan sekitar sekolah untuk mengamati
langsung sumber-sumber sejarah dan mengumpulkan data sejarah. Aspek-aspek yang
diamati tidak semata-mata berupa sejarah dalam urutan-urutan peristiwa, tetapi
juga berbagai aspek kehidupan yang terkait seperti geografi, sosial ekonomi,
folklor, dan pertanian.
Ketiga, studi
khusus tentang berbagai aspek kesejarahan di lingkungan peserta didik. Peserta
didik diorganisir untuk mengikuti prosedur seperti yang dilakukan peneliti
profesional, mulai dari pemilihan topik, membuat perencanaan, cara membuat
analisis data sampai penyusunan laporan hasil studi.
Diantara
tiga pilihan tersebut, akan lebih bijak jika dipilih model kedua, karena selain
tidak mengganggu materi yang telah ada dalam kurikulum, juga dapat meningkatkan
partisipasi peserta didik dan mendorong peserta didik untuk lebih kreatif dan
inovatif, serta bangga terhadap lingkungan sosialnya. Persoalannya sekarang,
sejauh mana pendidik sejarah mampu merancang kegiatan pembelajaran yang dapat
mengaitkan dengan peristiwa sejarah lokal. Selama ini sumber-sumber sejarah lokal
masih terbatas yang diungkap secara tertulis, jika ada itu umumnya ditulis oleh
sejarwan amatir, sementara sejarawan profesional (sarjana sejarah dan magister
sejarah) hanya senang berdebat persoalan metodologi yang juga sudah ketinggalan
zaman, sehingga cuplikan-cuplikan sejarah yang sempat ditulis juga tidak dapat
memuaskan banyak pihak, seperti kasus sejarah Sultra yang dua tahun terakhir
dibacakan dalam upacara Harlah Sultra selalu menimbulkan kotroversi. Namun di
sisi lain, jika kajian sejarah lokal dapat dilakukan secara profesional dengan
mengadaptasi metodologi penelitian sosial modern dapat menghasilkan sesuatu
yang berharga seperti hasil kajin sejarah Kota Kendari yang dilakukan Tim dari
FKIP Unhalu berhasil mengungkap hari lahir Kota Kendari 9 Mei 1832, demikian
pula penelitian Sejarah Kolaka yang dilakukan oleh Tim yang sama berhasil
mengungkap beberapa fakta baru diantaranya rangkaian peristiwa 19 November 1945
yang merupakan puncak perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara dalam mempertahankan
kemerdekaan melawan sekutu dan Belanda sekaligus dapat memperkaya muatan
sejarah nasional Indonesia. Dua kajian tersebut dapat menjadi acuan utama pendidik
sejarah dalam pembelajaran di sekolah mulai SD sampai dengan perpendidikan
tinggi.
C. Strategi Pembelajaran Sejarah
Agar
pembelajaran sejarah berjalan efektif, maka metode yang digunakan harus bisa
mengkonstruk "ingatan historis" yang disertai dengan "ingatan
emosional". Metode pembelajaran satu arah yang ada selama ini hanya akan
mengkonstruk "ingatan historis". Peserta didik menjadikan sejarah
hanya sebagai fakta-fakta hafalan tanpa adanya ketertarikan dan minat untuk
memaknainya, apalagi menggali lebih jauh. Supaya ingatan "historis"
bisa bertahan lama, maka perlu disertai "ingatan emosional", yaitu
ingatan yang terbentuk dengan melibatkan emosi hingga bisa menumbuhkan
kesadaran dalam diri peserta didik untuk menggali lebih jauh dan memaknai
berbagai peristiwa sejarah. Proses pembelajaran kemudian tidak hanya berhenti
pada penghafalan saja, tetapi peserta didik bisa aktif dalam komuniasi dua arah
dengan pendidik untuk menyampaikan pendapatnya mengenai objek sejarah yang
tengah dipelajari karena sejak awal ia telah merasa menjadi bagian dari proses
pembelajaran. Di sinilah urgensinya sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah.
Penggunaan
model pembelajaran cooperative learning
merupakan salah satu alternatif yang dapat dilaksanakan oleh pendidik dalam
memberdayakan peserta didik secara aktif dalam menggali muatan sejarah lokal ke
dalam pembelajaran sejarah. Model cooperative
learning ini mampu menempatkan peserta didik sebagai subjek dalam
mengungkap episode-episode sejarah lokal. Karena pada dasarnya pelaksanaan cooperative learning adalah
menggali potensi yang sebenarnya sudah dimiliki oleh masing-masing peserta
didik. Untuk mendukung kondisi tersebut, pendidik memegang peranan penting
dalam menciptakan suasana kelas yang `dapat memberikan keleluasaan dalam
belajar dan mendorong peserta didik mengembangan potensi berpikirnya.
Penggunaan model pembelajaran cooperative
learning ini menempatkan pendidik sebagai fasilitator, motivator, mediator
dan evaluator dalam upaya membantu peserta didik mengembangkan keterampilan
sosial dan kemampuan berpikir kritis, agar ia mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya, mampu bekerjasama dengan orang lain, dan mampu untuk berinteraksi
sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembelajaran
sejarah lokal dapat divariasikan dengan media komputer/internet dan modul yang
secara empiris menunjukkan produktivitas hasil belajar
sejarah yang tinggi dan dapat mengaplikasikan pelbagai teori dan strategi
pembelajaran terutama pembelajaran koperatif (Mohamad, 2002; Alias, 2008).
Pembelajaran
kooperatif merupakan suatu bentuk pembelajaran dalam kelompok kecil untuk
bekerja sama sesama peserta didik (Heinich, 1990), dan dapat meningkatkan
motivasi serta prestasi belajar peserta didik (Anglin, 1995). Untuk mencapai
hasil yang maksimal dalam pembelajaran kooperatif, maka ada lima unsur yang
harus diterapkan dalam pembelajaran kooperatif, yaitu: (1) saling ketergantungan
positif, (2) tanggung jawab terhadap tugas dan kegiatan belajar, (3) terjadi
tatap muka tidak harus di kelas, (4) komunikasi antar anggota, dan (5) evaluasi
proses kinerja kelompok (Lie, 2002). Hasil uji coba melalui eksperimen
menunjukkan bahwa strategi pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil
belajar sejarah (Mursidin, 2005). Pandangan lain menyatakan bahawa pembelajaran yang menggunakan
metode diskusi dapat meningkatkan pencapaian hasil belajar sejarah dan
meningkatkan sikap positif peserta didik terhadap mata pelajaran sejarah dan
pembelajaran sejarah.
Kegiatan pembelajaran bermuatan sejarah lokal dapat
pula dilakukan dengan menggunakan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL). Melalui pendekatan ini proses pembelajaran
menempatkan lingkungan sosial sebagai sumber belajar potensial termasuk di
dalamnya aspek-aspek historis dalam lingkungan sehari-hari peserta didik. Penggunaan peta sejarah sebagai bagian dari
CTL secara empiris menurut Ismain (2001) dapat meningkatkan
motivasi peserta didik dalam pembelajaran sejarah. Implementasi
CTL dapat dilakukan dengan menggunakan metode inquiri seperti dilakukan oleh Ahmad (2008) yang menunjukkan bahawa
83% peserta didik mampu melakukan inkuiri sejarah secara konsisten. Pemanfaatan
metode inquiri dalam pembelajaran sejarah dapat meningkatkan pencapaian hasil
belajar sejarah dan dapat meningkatkan sikap positif peserta didik terhadap
mata pelajaran sejarah dan pembelajaran sejarah (Mahmud, 2008).
Dalam kaitannya dengan penggunaan karya
sastra pengarang Indonesia sebagai sarana pembelajaran, kita justru tertinggal
jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Di Malaysia sudah sejak lama
novel Perburuan karya Pramoedya Ananta Toer menjadi bacaan wajib peserta didik
setingkat SMP, begitu pula dengan Gadis Pantai yang menjadi bacaan wajib peserta
didik setingkat SMP di Australia. Sementara itu,
di negeri si pengarang, semua karya-karyanya sempat dilarang keras beredar.
Jadi, sebagai pendidik sejarah harus senantiasa mendasarkan dirinya pada
fakta-fakta, sementara ia tidak boleh menutup diri dari metode pembelajaran
yang lebih mudah diterima dan lebih digemari peserta didik sehingga mereka
tidak mengalami "amnesia sejarah" (Kompas, 6 September 2006).
Untuk
menjadikan pendidik sejarah yang mampu mengembangkan materi sejarah lokal, maka
ia harus mampu melakukan pengkajian sejarah, dan ini tidak bisa ditawar-tawar
lagi karena dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memasukkan materi
pengenalan penelitian sejarah pada semester satu kelas X. Secara filosofi
bahwa inti materi pembelajaran sejarah dalam kompetensi dasar ini adalah
sejarah lokal. Usaha ini sangat positif,
karena ketika peserta didik masuk SMA, mereka langsung diajak untuk latihan
meneliti sejarah. Pendekatan yang tepat digunakan harus lebih mengedepankan
pembelajaran learning by doing. Sebab
apabila model pembelajaran hanya mengedepankan kognitif, maka tidak ubahnya
materi sejarah yang ada pada peserta didik akan sia-sia.
Berkaitan
model pembelajaran sejarah bermuatan sejarah lokal, maka perlu pengembangan
modul dan buku-buku untuk merangsang peserta didik. Seharusnya pendidik tidak
terpaku pada buku ajar, tetapi harus mengembangkan modul yang mengintegrasikan
sejarah lokal. Sebab karakteristik setiap sekolah berbeda sesuai dengan arah
KTSP berupa keragaman. “Tidak mungkin menggunakan satu buku untuk seluruh
sekolah di Indonesia. Pendidik harus mampu
mengembangkan materi sejarah dalam dimensi kekinian dengan mendekatkan materi
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kedekatan masalah peserta didik.
Pengembangan strategi pembelajaran yang mengedepankan aktivitas peserta didik
merupakan upaya inovatif pembelajaran sejarah.
Menurut
Wahap (2000.) yang mampu melakukan itu semua adalah pendidik yang
mempunyai latar pendidikan sejarah dan pengalaman pelatihan. Akhirnya, pendidik
sejarah harus memiliki latar belakang pendidikan sejara dan perlu diberi
pelatihan materi dan metode pembelajaran sejarah sehingga hasil pembelajarannya
efektif dan efisien.
D. Pemanfaatan Media Teknologi Informasi
Upaya
mencapai tujuan pembelajaran yang efektif, maka pembelajaran sejarah harus kaya dengan sumber, agar peserta didik
dapat mengembangkan imajinasinya. Persoalan-persoalan yang muncul sebagai
akibat dari perbedaan persepsi antar penulis akan memaksa peserta didik untuk
berpikir lebih tajam, sensitif, dan berupaya mengembangkan kemampuan nalarnya.
Sumber atau resource yang paling kaya ada di internet, dan inilah gudangnya
resource untuk bahan belajar peserta didik.
Berkaitan
model pembelajaran sejarah bermuatan sejarah lokal, maka perlu pengembangan
media berbasis teknologi informasi untuk merangsang peserta didik. Seharusnya pendidik
tidak terpaku pada buku ajar, tetapi harus mengembangkan media yang
mengintegrasikan sejarah lokal. Sebab karakteristik setiap sekolah berbeda
sesuai dengan arah KTSP berupa keragaman. Tidak mungkin menggunakan satu buku/media
untuk seluruh sekolah di Indonesia. Pendidik harus
mampu mengembangkan materi dalam dimensi kekinian dengan mendekatkan materi
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan kedekatan masalah peserta didik. Pengembangan
strategi pembelajaran yang mengedepankan aktivitas peserta didik merupakan
upaya inovatif pembelajaran sejarah.
Pengadaan media TIK untuk kegiatan pembelajaran bisa
saja berasal dari sekolah itu sendiri atau dari pihak lain. Pada dasarnya tidak
menjadi masalah dari manapun asalnya media TIK yang sampai di sekolah. Lebih
penting lagi adalah bagaimana menyiasati agar media TIK yang telah tersedia di
sekolah dapat dioptimalkan pemanfaatannya bagi kepentingan pembelajaran peserta
didik. Beberapa contoh media TIK yang mulai banyak tersedia di pasaran adalah
CD/kaset audio, VCD, dan internet. Timbul pertanyaan, mengapa
menggunakan media TIK. Jawabnya:
Menghemat waktu proses pembelajaran, melatih pembelajar lebih mandiri
dalam mendapatkan ilmu pengetahuan (http://www.docstoc.com/docs/
20430018/).
Sehubungan dengan semakin maraknya ketersediaan media
TIK untuk kegiatan pembelajaran, baik di pasaran, yang diadakan sekolah sendiri
maupun yang diterima sekolah dari berbagai pihak, maka sebelum memanfaatkannya
di dalam kelas, beberapa tips berikut ini perlu kiranya mendapatkan perhatian:
1. Mempelajari Materi Pembelajaran yang Dikemas dalam Media TIK
Akibat kemajuan TIK dewasa ini, para pendidik dapat
mencatat daftar websites yang memang memuat materi pelajaran yang berkaitan
dengan materi pelajaran yang akan dibahas di dalam kelas. Tidak hanya mencatat
website-nya tetapi juga materi pelajaran yang dikandung di dalamnya. Penugasan
peserta didik mengakses websites tertentu hendaknya dilakukan pendidik secara
terencana. Demikian juga dengan alokasi waktu bagi peserta didik untuk
mengerjakan tugas yang diberikan.
Jika di sekolah telah tersedia perangkat komputer dan
akses ke internet, maka pendidik dapat menugaskan para peserta didiknya untuk
mengunjungi websites yang dimaksudkan. Tidak hanya sekedar mengunjungi websites
tertentu saja, tetapi para peserta didik juga ditugaskan untuk mendiskusikan
materi pelajaran yang dikemas di dalamnya.
Mengakses websites tertentu yang ditugaskan pendidik
dapat saja dilakukan peserta didik di luar jam pelajaran sekolah atau selama
peserta didik masih berada di sekolah. Apabila selama berada di lingkungan
sekolah, peserta didik dapat saja mengakses websites yang ditugaskan pendidik
di lab komputer. Peserta didik akan merasa lebih leluasa melaksanakan tugas
yang diberikan pendidik apabila ada jam pelajaran kosong. Atau,
setidak-tidaknya ada satu jam pelajaran yang diperuntukkan pendidik kepada
peserta didik untuk mengakses websites dan mendiskusikan materinya. Tentunya
akan lebih baik lagi apabila peserta didik melaksanakan tugas di luar jam
pelajaran sekolah.
2. Merencanakan Waktu Pemanfaatan Media TIK
Ada sebagian pendidik yang membawa media TIK atau
media pembelajaran ke dalam kelas dan kemudian memanfaatkannya ketika dirinya
merasa memerlukannya. Artinya, pemanfaatan media pembelajaran dilakukan sesuai
dengan keinginannya.
Pemanfaatan media dalam kegiatan pembelajaran
dilakukan secara terencana dan terintegrasi dalam jadwal pelajaran sekolah.
Sebagai contoh pendidik yang akan memanfaatkan media CD atau VCD dalam kegiatan
pembelajaran. Setelah mempelajari materi yang dikandung di dalam CD/VCD, maka pendidik
tahu persis kapan materi tersebut akan dibahas bersama peserta didiknya. Dalam
kaitan ini, pendidik dituntut membuat perencanaan pemanfaatannya. Berbagai
topik program media yang terdapat dalam CD/VCD telah terlebih dahulu dipelajari
pendidik sehingga dapat diintegrasikan dengan jadwal pelajaran sekolah, baik
hari maupun waktunya. Dengan adanya perencanaan ini, maka peserta didik dapat
dikondisikan agar peserta didik mempersiapkan diri dan fasilitas yang mereka
perlukan sebelum kegiatan pemanfaatan media dilakukan. Demikian juga kesiapan pendidik
itu sendiri, baik dalam mempelajari materi pelajaran yang dikemas di dalam
media CD atau VCD maupun dalam mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan pendidik.
3. Mengkomunikasikan Rencana Pemanfaatan Media TIK kepada Peserta Didik
Ada 2 alasan mengapa dinilai penting mengkomunikasikan
rencana pemanfaatan media TIK kepada peserta didik adalah agar peserta didik
dapat mempersiapkan (a) dirinya untuk mempelajari materi pelajaran yang akan
disajikan melalui media TIK dan (b) fasilitas yang diperlukan untuk mengikuti
kegiatan pembelajaran melalui media TIK. Dari sisi pendidik, ada tuntutan agar pendidik
lebih (a) mempersiapkan dirinya mengenai materi pelajaran yang akan dibahas,
(b) mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan (dalam kondisi baik) agar tidak
menjadi hambatan sewaktu pemanfaatan media TIK dilaksanakan, dan (c)
mempersiapkan ruangan yang akan menjadi tempat pemanfaatan media TIK (Siahaan,
2011).
Menurut
Wahap (2000) yang mampu melakukan itu semua adalah pendidik yang
mempunyai latar pendidikan sejarah dan memiliki pengalaman pelatihan dalam
aspek media, metode dan materi pembelajaran sejarah. Akhirnya, pendidik sejarah
harus memiliki latar belakang pendidikan sejarah dan perlu diberi pelatihan
tentang media dan metode pembelajaran sejarah sehingga hasil pembelajarannya
efektif.
Berbagai
kelemahan yang ditemukan dalam pembelajaran sejarah selama ini, salah satu
penyebabnya karena materi yang diajarkan tidak ada kaitannya dengan lingkungan
sosial peserta didik. Materi pembelajaran terkesan cerita tentang tokoh,
peristiwa, dan tahun yang jauh dari lingkungan peserta didik. Untuk itu,
integrasi sejarah lokal dalam pembelajaran sejarah merupakan suatu keharusan untuk
melibatkan peserta didik dalam proses pembelajaran, sehingga dapat memberi
makna dan kesadaran kepada peserta didik. Demikian pula penggunaan pendekatan,
metode, dan media pembelajaran yang manarik seperti media teknologi informasi
berupa komputer/internet, sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas
pembelajaran. Pendidik sejarah selain harus mampu membuat perencanaan dan
pelaksanaan pembelajaran, juga dituntut kemampuan untuk melakukan pengkajian
sejarah lokal di sekitar peserta dididknya dan mengaksesnya di dunia maya,
sehingga peserta didik tidak lagi tergantung sepenuhnya kepada pendidik di
sekolah.