A. PENDAHULUAN
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
Pada saat ini Indonesia
sedang menghadapi permasalahan disintegrasi nasional, sekurang-kurangnya ada
tiga masalah yang harus segera dipecahkan. Pertama,
problema historis yang berkaitan
dengan konflik sosial, yakni berupa krisis ketika konflik-konflik masa lalu
belum terselesaikan dan tertinggal, sekarang menuntut penyelesaian. Kedua, problema kekinian yakni masalah-masalah yang harus diselesaikan
terutama berkaiatan dengan masalah struktural, misalnya konflik yang muncul
akibat ketimpangan struktural, seperti ekonomi, kemiskinan, tindak kekerasan
militer dan aparat Polri. Ketiga,
problema masa depan yakni bagaimana meletakkan dasar bagi masa depan Indonesia yang
lebih baik, ini diperlukan untuk menjawab tantangan masa depan yang semakin
kompleks dan transparan melalui jendela globalisasi dunia (Warsilah, 2000).
Implikasi terhadap problema masa depan adalah berupa
tantangan untuk mengantisipasi gejala hegemoni kebudayaan, karena jika hal ini
terjadi akan cenderung merelatifkan kebenaran. Oleh karena itu, dalam jangka
panjang adalah bagaimana kita mengupayakan proses demokrasi dan proses
integrasi yang berlandaskan pluralitas, kesetaraan, transparansi dan pelibatan
partisipasi publik atau mendorong penguatan kedudukan masyarakat dalah ranah
publik. Solusinya adalah mendorong munculnya kohesi sosial yang pluralistik,
dimana ketika setiap golongan dengan karakteristik sosio-kultural masing-masing
merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas bersama, bukan beberapa komunitas
yang saling mendominasi atau merasa tersubordinasi oleh komunitas lainnya. Hal
ini terjadi karena proses dinamika sosial
akibat perkembangan sarana komunikasi dan transportasi.
Tidak dipungkiri, wilayah pertumbuhan selalu menjadi tumpuan pendatang baru, baik dari golongan pribumi maupun nonpribumi, mereka merasa tercabut dari lingkungan sosio-kultural yang intim untuk merantau ke daerah baru, dan menjadi orang asing. Sikap perilaku pendatang baru untuk penduduk lokal dianggap asing dan aneh karena tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Mulailah berkembang sentimen stereotipe yang menyesatkan, seakan-akan “kami” lebih baik dari “mereka” (pendatang).
Dalam perspektif budaya, bagaimana kita mengupayakan pertemuan antar berbagai kelompok masyarakat dalam suatu “Budaya Bazar”, bukan sebaliknya “Bazar Budaya”. Kebudayaan Bazar tampil sebagai kebudayaan yang bercorak trans-etnis atau merupakan forum dari berbagai unsur kebudayaan, sekaligus menjadi jembatan yang memperlancar terjadinya komunikasi antar budaya. Dalam suasana bazar atau pasar, kebudayaan etnis dapat menemukan unsur-unsur yang merupakan pasangan dari apa yang mereka miliki (Warsilah, 2000).
Dalam bentuk lain budaya bazar dapat ditemukan dalam budaya perpangkalan yaitu merupakan alternatif upaya dari kelompok pendatang untuk dapat terlibat dalam perekonomian setempat dan bahkan melakukan perkawinan antar etnik setempat, mereka sepakat untuk membentuk pangkalan atau tempat untuk berkumpul dan saling berinteraksi. Dalam perkembangannya, pangkalan tidak semata-mata tampil dalam wujud fisik, tapi transformasi menjadi “Budaya Perpangkalan” yang merupakan media ekspresi budaya pendatang yang khas yang berperan sebagai ikatan solidaritas sosial dan media kebutuhan ekonomi berupa alih keterampilan, dan bursa kerja. Dalam bentuk lain dapat berupa lembaga pendidikan formal sebagai media perpangkalan, melalui proses ekspresi budaya kelompok-kelompok etnis secara seimbang dan serasi dalam berbagai komponen yang terlibat baik oleh guru, peserta didik, komponen masyarakat dan pemerintah, sehingga terjadi proses pembiasaan menerima perbedaan dan mengembangkan persamaan perspektif terhadap suatu masalah.
Suatu hasil penelitian yang dilakukan oleh Bruner menunjukkan dua pola budaya yang berbeda antara di Medan dan di Bandung. Di Bandung kebudayaan tertentu sudah menjadi dominan, sementara di Medan tidak ada suatu kebudayaan suku bangsa yang dominan (Suparlan, 2000). Pola pengembangan budaya di Medan dapat menjadi contoh yang menarik untuk dikembangkan di daerah yang rawan konflik antar etnik atau kelompok-kelompok sosial, meskipun pola yang terjadi di Bandung belum ada bukti signifikan akan ketidakmampuan memelihara perdamaian dan kerukunan antar etnik yang ada di Bandung. Tetapi sebagai antisipatif, model yang berkembang di Medan dapat dijadikan bahan banding untuk melakukan rekayasa sosial di daerah yang rawan konflik baik melalui lembaga pendidikan formal maupun pendidikan non-formal dan informal.
Di Sulawesi Tenggara keragaman etnik pada kenyataannya merupakan proses sejarah yang panjang yang berawal dari kedatangan nenek moyang mereka dari Asia dan Pasifik, tetapi secara genealogis dapat dibagi dalam dua rumpun etnik yaitu Mongoloid (Moronene, Tolaki/Mekongga, Kulisusu, Wawonii/Menui) dan Austro-Melanesiod (Buton dan Muna). Perkembangan selanjutnya pada kedua rumpun etnik itu terjadi hubungan kekerabatan akibat perkawinan antar etnik yang ada melalui jaringan perdagangan. Akhirya berkembanglah suatu rumpun etnik besar (seluruh suku bangsa yang ada di Sultra) yang mendiami segenap wilayah Sulawesi Tenggara baik di daratan maupun di kepulauan.
B. PROSES TERBENTUKNYA KEKERABATAN
Pada hakekatnya
kekerabatan terjadi karena hubungan darah dan proses perkawinan. Hubungan darah
berada sekitar saudara sepupu sekali, sepupu dua kali, sepupu tiga kali, sepupu
empat kali. Sepupu lima
kali dianggap suatu keluarga yang mulai menjauh. Perkawinan di luar lingkungan
sepupu tiga kali menyebabkan batas kekerabatan menjadi semakin luas, ini sering
terjadi di kalangan etnis-etnis yang ada di Sultra. Meskipun umumnya orang
mengakui kerabat jika dalam kelompok itu terjadi saling kenal-mengenal, oleh
Koentjaraningrat (1982) disebutnya kerabat sosilogis.
Titik tolak hubungan
kekerabatan antar etnik dimulai dari kedatangan nenek moyang penduduk yang
berdiam di daerah Sulawesi Tenggara sekarang ini. Secara geografis dan
genealogis wilayah Sulawesi Tenggara merupakan pertemuan ras-ras dalam proses
perpindahan bangsa-bangsa prasejarah. Ras Mongoloid dari Utara, ras
Austro-Melanesoid dari Timur dan Proto-Melayu
dari Barat/Utara. Oleh karena itu daratan Sulawesi Tenggara dan
pulau-pulau sekitarnya memiliki kekhasan baik kehidupan manusianya maupun flora
dan faunanya (Razake, 1989).
Suku Moronene, Tolaki,
Wawonii, dan Kulisusu mempunyai ciri fisik dan budaya yang mirip dengan
suku-suku yang ada di Sulawesi Tengah dan mungkin juga Sulawesi Utara. Jika
dilihat dari cepkalik-index, mata, rambut maupun warna kulit suku-suku tersebut
memiliki persamaan dengan ras Mongoloid diduga berasal dari Asia Timur ke
Jepang kemudian tersebar ke selatan melalui Kepulauan Riukyu, Taiwan,
Philipina, Sangir Talaud, Pantai Timur Pulau Sulawesi kemudian sampai ke
Sulawesi Tenggara. Sementara itu penduduk kepulauan (Muna dan Buton), termasuk
di Kepulauan Banggai (Sulteng) dan suku-suku di NTT banyak memiliki persamaan
dengan ras Austro-Melanesoid (Razake, 1989). Dalam perkembangan selanjutnya
terjadi pemusatan penduduk khususnya ras Mongoloid di daerah-daerah Danau
Matana, Mahalona, dan Towuti (Monografi, 1976).
Para migran tersebut, ketika sampai di daerah
ini membentuk perkampungan di wilayah-wilayah yang menawarkan kehidupan bagi
mereka, seperti di lembah sungai atau di sekitar danau (ingat: Sungai Lasolo,
Sungai Konaweeha, Danau Amboau) pusat konsentrasi pemukiman kuno di Sulawesi
Tenggara. Dari sini mereka membentuk pemerintahan desa atau kerajaan-kerajaan
kecil dan kemudian membentuk konfederasi.
Bagi masyarakat di
daerah Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari), Wuna (Muna), Wolio (Buton),
Moronen, dan Pulau Wawonii percaya bahwa asal-usul raja pertama di wilayahnya
adalah dari To Manurung, meskipun dalam ungkapan bahasa dan gelar yang
berbeda-beda. To Manurung dianggap orang yang turun dari kayangan (langit), dan
senantiasa disimbolkan dengan bambu atau gading, atau emas dan warna kuning
lainnya. (Anwar, 2003).
Kerajaan-kerajaan
tradisional di Sulawesi Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan
Sawerigading dari Luwu yang dihubungkan dengan kedatangan To Manurung (orang asing). Persepsi yang sama
juga ditemukan pada tradisi di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti:
Gowa dan Bone. Pada sisi lain suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar dan suku
Massenrempuluk mengakui pula bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari
Ussuk, diperkuat dengan tradisi raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar
menghormati Raja Luwu sebagai primus interparis (Abidin, 1995). Dalam lontarak Bajo (ditulis orang
Bajo di Kendari) juga mengakui asal-usul nenek moyang mereka berasal dari
Ussuk.
Di
Mekongga ditandai dengan kedatangan La Rumbalangi yang berhasil membunuh burung kongga, kelak menjadi raja pertama di Kerajaan Mekongga. Di Konawe Tomanurung ditandai dengan
kedatangan Wekoila yang merupaka raja
pertama di Kerajaan Konawe sekitar abad X. To Manurung di Wuna disebut Beteno ne Tombula orang yang keluar dari ruas bambu
yang kelak menjadi Raja Wuna Pertama juga kawin dengan perempuan To Manurung. Wakaaka
merupakan To Manurung di Wolio kelak juga menjadi Raja Wolio Pertama (Anonim,
1982).
Di
masyarakat Moronene khususnya yang bermukim di Pulau Kabaena percaya bahwa
ketika terjadi kemelut politik maka muncullah Tebeto Tulanggadi=lelaki tampan yang muncul dari bambu
gading.
Pada saat yang sama muncul pula seorang perempuan asing bernama Wulele Waru, seorang putri yang terpencar dari sekuntum
bunga kayu waru (Subur, 1990).
Peristiwa
tersebut terjadi pada abad XIV, istilah bambu tersebut semakin menguatkan
adanya kesamaan dalam arti terdapat hubungan kekerabatan antara raja-raja
pertama yang berhasil menata administrasi dan struktur pemerintahan tradisional
yang ada di Sulawesi Tenggara. Mereka secara tidak langsung mengakui bahwa para
pendatang yang sering disebut to manurng (orang asing yang memiliki kelebihan) itu adalah Sawerigading atau
keluarga/keturunan raja dari Luwu.
Kedatangan
to manurung tersebut sering dihubungkan dengan perjalanan Sawerigading ke dunia
timur (sempe’na
Sawerigading lao ri Tana Lau/lao ri Tomporekkesso) yang menyebabkan persebaran Suku Bugis
dan Suku Bajo di daerah-daerah perantauannya. Tetapi secara faktual bahwa orang
Bugis yang umumnya memiliki gaya hidup yang lebih dinamis, lebih mudah
bersosialisasi dan beradaptasi. Melalui filosofi hidup di rantau yang harus
meraih sukses, maka konsep “tiga ujung” (ujung lidah/diplomasi, ujung
laki-laki/kawin politik, dan ujung keris/keberanian), memegang peranan penting
dalam mempertahankan eksistensi orang Bugis di negeri rantau (Anwar, 2003).
Sawerigading
juga ditafsirkan sebagai manusia yang berkembang biak di bambu atau di gading.
Pendapat tersebut dapat dihubungkan dengan mitos sebagai orang yang keluar dari
ruas bambu atau dari selah-selah bambu. Penafsiran lain sesuai dengan tradisi
lisan yang menyatakan bahwa leluhur Sawerigading adalah manusia yang berkembang
biak di atas rakit bambu (gading) dalam pelayaran. Pendapat ini didukung oleh
gerak perpindahan dan pelayaran penduduk yang berbahasa Melayu-Polinesia atau
Mongoloid dari daratan Asia Tenggara ke Nusantara pada masa bercocok tanam
(Poesponegoro, 1984). Secara faktual bahwa pada awal pemukiman penduduk di
pantai mereka membuat rumah dengan tiang dari bambu, tangga dari bambu, lantai
dari bambu, dinding dari bambu, bagian dari atap dan peralatan bagian atas
rumah juga dari bambu.
Di
Kerajaan Mekongga berdasarkan tradisi lisan menyebutkan bahwa raja pertama di
Kerajaan Mekongga berasal dari luar. Ia disimbolkan sebagai manusia luar biasa
yang mampu mengalahkan burung Kongga yang sering memangsa manusia, dikisahkan
bahwa menjelang kedatangannya terjadi masalah sosial selain merebaknya penyakit
menular, juga munculnya burung Kongga yang memangsa bukan hanya manusia tetapi
juga binatang. Menurut Mekuo (1986) La Rumbalangi (Bahasa Tolaki: menggemuruhkan langit; dalam bahasa
Bugis: La Rumpa Langik dari kata: La =orang/laki-laki; Rumpa=membobol;
langik=langit atau laki-laki yang dapat membobol langit) datang dari kayangan
dengan menumpang sehelai sarung bersulam emas. Ia datang di daratan Sulawesi
Tenggara bersama dengan kerabatnya yaitu Wekoila (Mokole Konawe) dan Wa Sasi.
Jika dihubungkan dengan keberadaan burung Kongga yang disimbolkan sayapnya
dapat menutup langit, maka kedatangan La Rumpalangi dapat membobol langit yang
tertutup oleh sayap burung kongga. Ia melakukan taktik perlawanan dengan
menanam bambu-bambu runcing sebagai senjata perangkap untuk menjebak dan
membunuh burung kongga, taktik ini berjalan dengan efektif sehingga burung
kongga berhasil dilumpuhkan oleh La Rumbalangi.
Masyarakat
Mekongga menganggap bahwa La Rumbalangi sebagai juru selamat yang telah
menyelamatkan penduduk yang terancam maut oleh burung kongga. Oleh karena itulah, maka setelah negeri ini aman
dan La Rumbalangi diangkat menjadi Mokole/Bokeo (raja), mereka menamai
kerajaannya dengan Mekongga (sekarang menjadi Kabupaten Kolaka). Tradisi
setempat mengakui bahwa La Rumbalangi adalah keluarga Sawerigading dari Luwu.
Di
Kerajaan Konawe kehadiran tomanurung pertama ketika terjadi kemelut politik
yang dalam tradisi lisan dikatakan adanya bencana besar yang berlangsung
bertahun-tahun sehingga nyaris menghancurkan beberapa generasi umat manusia.
Secara tiba-tiba datanglah Wekoila seorang gadis cantik menurut orang Tolaki
disebut Sangia Ndudu atau Tono ari wawo sangia (tono=orang; ari=dari; wawo
sangia=atas kayangan). Di Kerajaan Konawe dikenal tiga orang Sangia Ndudu, yaitu: (1) To Lahianga, (2) Wekoila (putri jelita),
dan (3) Anawai Ngguluri (putri burung nuri) (Mekuo, 1986).
Beberapa
sumber yang berasal dari tradisi lisan mengungkapkan bahwa pada masa kehancuran
tatanan pemerintahan dan sosial di daratan Sulawesi Tenggara tiba-tiba
datanglah Tenriabeng atau We Tenriabeng dari Luwu (saudara kembar Sawerigading)
yang oleh orang Tolaki diberi nama Wekoila dari kata We=ciri nama
awal seorang perempuan Bugis, Koila=hilang-hilang atau sakti. Wekoila kemudian dipersunting oleh Ramandalangi (putra raja Totongano Wonuwa)
(Anonim, 1976; Mekuo, 1986).
Menjelang
kedatangan Wekoila terjadi masa suram di berbagai sektor kehidupan masyarakat
Tolaki, setiap negeri memiliki pemerintahan sendiri-sendiri yang menyebabkan
terjadi kondisi sianre bale ni
taue
(timbul kekejaman di mana manusia saling membunuh seperti ikan). Kemunculan
Wekoila membawa persatuan di Jazirah Sulawesi Tenggara (Kerjaan Konawe)
(Bhurhanuddin, 1981).
Jika
dihubungkan dengan bahasa Bugis, maka istilah konaweeha dapat dikaitkan dengan peroses pelayaran keluarga
bangsawan dari Luwu bernama We Tenrirawe yang dikawal oleh para dayan-dayan (inang pengasuh), ketika memasuki sungai besar ini dan
mendapati perkampungan penduduk, maka sang putri (Wekoila) berkata konawe= di sinilah (bahasa Bugis) artinya di sinilah kita singgah atau di sini saja kita berlabuh. Sehingga sungai ini kemudian dinamai Sungai Konaweeha, dan kerajaan yang dibangun oleh
masyarakat Tolaki di bawah kepemimpinan Wekoila kelak dinamai juga Kerajaan
Konawe. Wekoila kelak kawin dengan La Tenripeppang anak bangsawan Tolaki yang
kelak melahirkan keturunan Mokole (raja-raja) di Kerajaan Konawe. Istilah Mokole juga digunakan di
daerah Luwu untuk gelar raja-raja kecil, demikian pula di daerah Bungku
Sulawesi Tengah juga dipakai istilah yang sama untuk bangsawan yang berkuasa
(Anwar, 2003).
Di
daerah Wuna (Muna) terbentuknya Kerajaan Muna diawali dengan kedatangan orang
asing bernama Beteno ne
Tombula=orang
yang keluar dari bambu, ia mengaku bernama La Eli, nama lainnya Baizul Zaman (Batoa, 1991). Disusul kemudian kedatangan perempuan
asing bernama Sangke
Palangga=diangkat dari dulang. Putri tersebut dalam keadaan hamil, dan dia mengaku
bernama Tandiabe anak Raja Luwu.
Segera putri itu diantar ke istana Mieno Wamelai dan dipertemukan dengan Beteno ne Tombula dan terjadi dialog antara keduanya.
Beteno
ne Tombula : kamulah yang jadi istriku
Sangke
Palangga : saya jadi begini (hamil)
karena perbuatanmu
Beteno
ne Tombula : Komu, tadombaura-urano=mari kita ramai-ramai berkembang
biak
Tandombalembo-lembomu=marilah kita
berkampung-kampung
Tandombatala-talamo= marilah hidup
beraturan
Pedemo ndoke = dengan jiwa
gotong-royong (Anonim, 1982)
Dari
dialog antara keduanya, kemudian diketahui bahwa diantara mereka telah saling
mengenal. Sangke Palangga dan Beteno ne Tombula, akhirnya
dipersatukan sebagai suami-istri yang disaksikan oleh segenap rakyat Wamelai
(Wuna). Karena kelebihannya, maka masyarakat Muna sepakat untuk mengangkat Beteno ne Tombula sebagai Raja Pertama di Kerajaan
Wuna.
Hasil
perkawinan mereka lahirlah dua orang putra dan satu orang putri, yaitu: Kanghua Bangkona Fotu dengan gelar Sugi Patola (Bahasa Bugis: sugi=kaya;
patola=pengganti, orang kaya pengetahuan/pengalaman yang menggantikan ayahnya
menjadi raja) yang kelak menjadi Raja Muna II dan Runtu Wulou yang dikatakannya kemudian kembali ke Luwu, dan putri
Kilambibite yang kawin dengan
anak Mieno Wamelai bernama La
Singkaghabu yang menjadi Kamokula (Kepala Pemerintahan wilayah) di Tongkuno. Raja Muna III ialah Sugi Ambona putra Raja Muna II. Dari keturunan Beteno ne Tombula inilah yang kelak
melahirkan raja-raja Muna sekaligus melahirkan tokoh legendaris yang diakui
oleh semua kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara. Tokoh tersebut di Muna
dikenal Lakilaponto anak Raja Muna VI (Sugi Manuru) yang kelak menjadi Raja
Muna VII dialah yang pertama menciptakan persatuan politik di Sulawesi Tenggara
pada awal abad XVI, menjadi Mokole (Raja) Konawe, memerintah di Moronene,
akhirnya menjadi Raja Wolio VI, selanjutnya memproklamirkan Kerajaan Wolio
menjadi negara Islam dengan nama Kesultanan Buton (dialah sebagai Sultan Buton
I). Nama Buton, diambil dari tradisi
masyarakat Wolio yang menempatkan wilayahnya sebagai pusat bumi, maka nama
Buton dari kata bahasa Arab Batnun=perut, mereka menempatkan Buton sebagai pusat bumi ini.
Jika dilihat silsilah Lakilaponto (Murhum)
yang memiliki garis keturunan dari Muna (ayahnya Sugi Manuru), neneknya dari
Konawe bernama Wa Sitao. Murhum pun kawin dengan puteri Konawe, dan menurunkan
anak-anak Wa Ode Konawe, Wa Ode Poasia, dan Wa Ode Lepo-Lepo (Djarudju, 1995).
Iapun dikawinkan dengan puteri Raja Mulae yang bernama “Borokomalanga” alias
“Watampaidonga” atas keberhasilannya membantu mengusir bajak laut Tobelo.
Di
Wolio (Buton) sebelum terbentuknya Kerajaan Wolio, muncullah seorang perempuan
cantik yang kemudian dikenal dengan nama Wakaaka. Ia disimbolkan sebagai
seorang putri yang ditemukan di Bukit Lelemangura yang muncul dari ruas bambu
gading oleh Sangia
Langkuru. Karena
keistimewaannya, sehingga para Bonto (kepala kampung) mengangkat Wakaaka sebagai Raja Wolio Pertama, dia dilantik
di atas batu popaua, yang kelak menjadi
tradisi tempat pelakntikan Raja Wolio/Buton. Salah satu versi menyebutkan bahwa
Wakaaka bersama rombongannya mula-mula masuk di kali Umalaoge di Pantai Timur
Lasalimu, kemudian meneruskan perjalanan ke selatan dan sampai di Lelemangura
(Wolio). Tradisi lisan tersebut didukung oleh silsilah raja-raja Wolio/Buton
yang melukiskan Wakaaka sebagai putri Raja Luwu yang lubang tangannya (masombuna limana) dengan permaisurinya
yang putih wajahnya (maputina
roona) (Mekuo,
1986).
Nama
Wakaka dalam tradisi Luwu adalah dari kata Tomokaka, tomo=penguasa/raja, kaka=diantara beberapa
kerajaan. Pendapat
ini didukung oleh sumber sejarah Wolio yang mengungkapkan bahwa sebelum
terbentuknya Kerajaan Wolio, telah berdiri beberapa kerajaan kecil di Pulau
Buton diataranya Kerajaan Amboau. Wakaaka sebagai raja pertama Wolio, kemudian
kawin dengan Sibatara, oleh sebagian orang disimbolkan sebagai
bangsawan Majapahit, namun jika dihubungkan dengan Sejarah Luwu, nama Batara ditemukan pada
bangsawan bernama Batara Guru dan Batara Lattu. Dari perkawinan mereka lahirlah
tujuh orang anak, salah seorang bernama Bulawambona yang kelak diangkat menjadi
Ratu Wolio Kedua. Wakaaka kemudian meninggalkan Wolio menuju tempat yang tidak
diketahui oleh masyarakat Wolio. Bulawambona pun tidak lama memerintah, karena
kemudian pucuk pimpinan pemerintahan diserahkan kepada suaminya bernama La
Baluwu (Mekuo, 1986). Sebagai raja Wolio III diangkatlah Bancapatola sebagai
pewaris tahka kedua orang tuanya, ia kemudian diberi gelar Bataraguru (Djarudju, 1995; Anonim, 1982). Kedua
nama itu, memperlihatkan adanya hubungan kekerabatan dengan Luwu/Bugis, nama Patola=pewaris tahta, karena dialah yang
mewarisi tahta kerajaan dari orang tuanya, dan nama Bataraguru, sama dengan nama Raja Luwu Pertama yang merupakan
nenek Sawerigading (Kern, 1993).
Perkembangan
pelayaran dagang semakin menambah media pertalian kekerabatan antar etnik baik
yang dilakukan oleh etnis yang ada di Sultra, maupun dari luar seperti orang
Bugis/Makassar. Di kawasan Barat Nusantara para pelayar/pedagang Bugis sejak
dahulu kala diakui sebagai pelayar ulung dan juga menanamkan pengaruhnya di
kawan itu (Riau dan Kalimantan Barat). Demikian pula di Negeri Timur atau Tanah Lau, seperti Sulawesi Tenggara.
Kerajaan Laiwoi (di Kendari) didirikan oleh La Mangu, anak Arung Bakung seorang
yang disebut sebagai pelarian politik dari Bone yang kawin dengan bangsawan
Tiworo, kemudian Anaknya La Sambawa mengawini Maho putri mahkota Ranomeeto,
dialah yang melahirkan La Mangu yang kelak mendirikan Kerajaan Laiwoi. Arung
Bakung dikenal sebagai pemimpin orang Bugis yang berhasil mengusir bajak-bajak
laut Tobelo di pesisir pantai Timur Sulawesi Tenggara. Kerajaan Laiwoi
merupakan dinasti Bugis-Muna-Tolaki, suatu gambaran nyata bentuk hebungan
kekerabatan melalui perkawinan, inilah yang kelak mengembangkan Kota Kendari
sampai pada taraf sekarang ini. Di Kota Kendari sekarang ini sulit memisahkan
antara ketiga etnis tersebut bahkan dengan etnis lainnya karena mereka lentur atau
menyatu dalam suatu tatanan baru yang mereka kembangkan sendiri, oleh Chalik
dkk (1984) disebutnya proses pembugisan yang melahirkan etnis baru “Bugis
Kendari”, dengan ciri budaya dalam wujud bahasa Bugis dengan dialek yang khas.
Setelah
Indonesia meredeka gelombang migrasi dan dinamika masyarakat semakin meningkat,
baik dalam dimensi perdagangan maupun dalam dimensi pemerintahan yang menjadi
daya dorong migrasi penduduk dari luar yang masuk ke Sulawesi Tenggara.
Perdagangan bukan hanya dilakukan melalui perahu layar, tetapi dapat dilakukan
melalui Kapal Motor, angkutan darat, dan angkutan udara. Demikian pula
penempatan dan mutasi pegawai negeri dan anggota TNI/Polri, yang berdampak
terhadap berkembangnya kekerabatan melalui perkawinan. Hampir tidak ditemukan lagi rintangan
berarti dalam proses perkawinan antar etnik. Sehingga mempermudah para pemuda
perantau untuk melangsungkan perkawinan antar etnik di daerah ini.
C. KEKERABATAN ANTAR ETNIS DI
SULAWESI TENGGARA
Keterkaitan sejarah dan
kekerabatan yang diungkapkan dari akibat perjalanan sawerigading di daerah
Timur ini akhirnya melahirkan makna sibolik hubungan kekeluargaan, kekerabatan,
kesatuan dan persaudaraan di kalangan suku-suku bangsa yang diungkapkan itu.
Dalam ungkapan orang Tolaki dikenal adanya seekor ayam jantan keemasan=manu
rasa wulaa. Suatu ketika ayam itu
dipotong untuk dibagi-bagikan kepada tujuh orang keturunannya yang sedang
memerintah di tujuh negeri, yaitu masing-masing:
Uluno o Gowa : Kepalanya Gowa
Worokono o Bone : Lehernya Bone
Wotoluno Konawe : Tubuhnya Konawe
Karieno Tarinate : Kakinya Ternate
Ponduno Mandara : Paruhnya Mandar
Panino o Luwu : Sayapnya Luwu
Wuleno
Wolio : Hatinya
Wolio (Tarimana, 1987).
Ungkapan
kekerabatan lain yang dikenal dalam bahasa Bugis: Buton ri Aja- Bone ri Lauk.
Artinya: Kerajaan Bone juga merupakan negeri Orang Buton yang ada di sebelah
Barat; dan Kesultanan Buton juga merupakan negeri Orang Bone yang ada di
sebelah Timur. Makna lebih lanjut adalah jika orang Buton berangkat ke wilayah
Kerajaan Bone, maka dia tidak lagi
dianggap sebagai orang asing, tetapi dianggap sebagai warga negara, demikian
pula jika Orang Bugis Bone berada di Buton maka dia menjadi tuan rumah atau
warga negara Buton. Dalam hubungan perdagangan antar kedua etnis ini melahirkan
banyak perkawinan diantara mereka. muncul pula ungkapan yang menguatkan
pertalian itu yang dinyanyikan para penyair Bugis: Mangkau ri Bone, Pajung ri
Luwu, Karaeng ri Gowa, dan La Ode ri Butung (gelar raja/kebangsawanan: yang
berdaulat di Bone, yang dipayungi di Luwu, orang yang disembah di Gowa, dan La
Ode di Buton). Ungkapan mana menunjukkan kesejajaran dan kekerabatan diantara
kerajaan-kerajaan tersebut.
Bagi
pelayar niaga orang Buton tidak hanya terbatas di Sultra, tetapi juga sampai ke
negeri Cina dan sebagai bukti terdapat suatu tempat di Kepulauan Natuna yang
bernama Tanjung Buton. Di tempat inilah pera pelayar Buton yang akan berlayar
ke daratan Asia singgah berpangkalan sementara sebelum melanjutkan pelayarannya
yang sampai ke Cina dengan membawa barang dagangan berupa kopra, damar, hasil
laut dan kulit, sebaliknya barang dagangan dibawa pulang berbagai jenis dan
ukuran keramik Cina, dan barang-barang tekstil.
Secara
empiris terdapat hubungan bilateral antara Kerajaan Konawe dengan Kerajaan
Bone. Baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya, sebagai bukti
ditemukannya konsentrasi pemukiman di pinggir-pinggir pantai Konawe, seperti di
Tinanggea, Torobulu, Kendari, Sampara, dan Lasolo. Pada mulnya wilayah ini
merupakan tempat transit bagi pelayar Bugis, sebaliknya di Kerajaan Bone mereka
menempatkan Pelabuhan Barebbo sebagai pangkalan utamanya bahkan menyiapkan
tempat khusus bagi para pesiarah/tamu dari Kerajaan Konawe (Anwar, 1989).
Para
pelayar dan pedagang tidak sedikit yang menetap dan kawin di negeri rantau
sehingga terjalinlah hubungan kekerabatan antar etnik melalui perkawinan antar
etnik. Seperti yang terjadi pada kasus Perkawinan Wa Ode Kadingke Putri Raja
Muna XVI La Ode Huseini dengan seorang bangsawan Bugis Bone yang tinggal di Kerajaan
Tiworo bernama Daeng Marewa. Secara adat perkawinan ini dianggap kontroversial
karena ditentang oleh sebagian bangsawan Muna termasuk Raja Muna La Ode
Sumaili. Upaya Wa Ode Kadingke mempertahankan syariat Islam yang tidak
memberatkan bagi seorang calon suami untuk menyiapkan maskawin kepada calon
istrinya. Pendapat mana dianggap bertentangan dengan hukum adat Muna bahwa
apabilan seorang perempuan yang kawin dengan orang dari luar kelompok etnisnya,
maka sang calon suami harus menyiapkan maskawin lebih besar lagi dibanding
dengan jika calon suami dari anggota kelompoknya. Perang saudara berakhir dengan kemenangan
dipihak Wa Ode Kadingke, dan Raja La Ode Sumaili dijatuhi hukuman pukul sampai
mati pada tahun 1799. Dengan demikian syariat Islam dapat mengalahkan hukum
adat yang telah berlaku secara turun-temurun di Kerajaan Muna (Batoa, 1991).
Keterkaitan
dengan budaya Bugis di Muna dan Buton dapat dilihat dari nama awal La untuk laki-laki dan Wa atau We untuk perempuan, telah melekat sampai saat ini menjadi
nama ciri masyarakat setempat, seperti halnya nama-nama dalam masyarakat Bugis.
Demikian
pula istilah sugi yang berarti orang
kaya harta, ilmu, dan wawasan. Terdapat pula istilah patola berarti pengganti atau pewaris tahta. Adanya
peninggalan Sawerigading di Muna seperti Bukit Bahutara, yang dikatakan sebagai situs perahu Sawerigading
yang telah menjadi batu/gunung, dialah yang memberi nama Wuna dari kata bahasa
Bugis Wunga=bunga, sesuai
bentuk batu-batu cadas di sekitar gunung Bahutara tersebut (Abidn, 1995).
Demikian pula nama suatu tempat di Muna bernama Kecamatan Sawerigadi, yang
terbentuk sesudah Indonesia Merdeka memperkuat bukti kecenderungan masyarakat
dunia timur umumnya dan Muna khususnya untuk lebih mempererat hubungan tradisional mereka dengan
Luwu dan Masyarakat Bugis umumnya. Kesenian modero yang berkembang di kalangan masyarakat Sulawesi
Tenggara (Bajo dan Muna), pantun dan nyanyian yang teratur bait dan syairnya
merupakan suatu petunjuk akan pertalian dengan kebiasaan suku Bugis yang pintar
membuat kata-kata filosofi yang memiliki makna tertentu berupa nasehat dan
pesan-pesan pendidikan lainnya.
Pelayaran
niaga yang dilakukan oleh tiga serangkai pengarung samudera yang dikenal BBM
(Bugis-Butun-Mandar) (Zuhdi, 1997) meninggalkan jejak sejarah yang panjang.
Ketiga etnis pelayar itu menjelajahi seluruh wilayah pantai Sulawesi Tenggara
dan segenap pelabuhan Nusantara bahkan sampai ke Mancanegara. Ketiga etnik itu
memiliki peran yang cukup besar dalam pelayaran niaga di Kawasan Timur Indonesia
dan membuka jaringan kekerabtan antar etnik. Negarakertagama menyebut Buton
dalam satu rangkaian dengan Makassar, Banggai, dan pulau-pulau lain di bagian
Timur sebagai daerah yang sudah berhubungan dengan Majapahit (Zuhdi, 1994).
Lebih jauh dari itu, sejak abad ke-10 sampai abad ke-13 Kerajaan Wolio (Buton)
di Timur Laut Mindanao telah mempunyai hubungan dagang dengan Cina, Campa, dan
Borneo (Zuhdi, 1997). Perdagangan keramik pada abad ke-10 melalui perairan
Timur Sulawesi terus ke Selatan di Selat Tiworo menuju Sulawesi Selatan. Para
pelayar niaga etnis Buton ikut ambil bagian dalam pelayaran ke negeri Cina
melalui jalur Buton, Selat Malaka, Laut Cina Selatan berlabuh di Pelabuhan
Kanton, Shanghai (Cina). Setelah tinggal selama 4-6 bulan menunggu perubahan
angin, selanjutnya mereka kembali melalui jalur utara dari Cina, Kepulauan
Jepang, Kepulauan Philipina, Laut Sulawesi, Kepulauan Maluku, Pesisir Timur
Sulawesi akhirnya sampai kembali ke Buton (Anwar, 2000). Di Kendari (Teluk
Kendari) dikenal adanya istilah Pasang Mandar = suatu musim di
mana permukaan air laut naik sampai beberapa meter di pantai. Saat (musim
barat) tersebut pertanda akan datangnya para pedagang Mandar untuk menjajakan
barang dagangannya dari rumah ke rumah dengan menggunakan perahu sampan yang
memanfaatkan air pasang naik (Djami, 1988).
Beberapa
faktor pendorong terjadinya dinamika masyarakat, seperti: gejolak politik,
tantangan alam di daerah asal yang gersang, dan dorongan untuk mendapatkan
kehidupan yang lebih baik di negeri orang, merupakan daya dukung persebaran
suku bangsa termasuk di Sulawesi Tenggara. Setelah mereka tersebar di daerah
ini, ia disambut dengan sikap
keterbukaan dari penduduk setempat sehingga melahirkan hubungan yang harmonis
dan saling pengertian. Para pendatang baru berupaya beradaptasi dengan
kehidupan setempat seakan memegang prinsip dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Pertemuan antara
sikap keterbukaan penduduk setempat dengan sikap adaptif pendatang melahirkan
rasa saling membutuhkan yang melahirkan beberapa perkawinan antar mereka dan
kelak mewujudkan hubungan kekerabatan melalui perkawinan. Hubungan ini, kelak
berkembang menjadi hubungan darah sehingga sulit memisahkan antara pendatang
dengan penduduk asli setempat. Fenomena tersebut, tetap tumbuh sumbur di
tengah-tengah masyarakat Sulawesi Tenggara sampai saat ini.
Pada
perkembangan lebih lanjut, di Sulawesi Tenggara terdapat tiga etnis yang
memiliki dinamika yang tinggi dalam proses mobilitas yaitu: etnis Buton
khususnya dari Kepulauan Wakatobi, etnis Muna, dan etnis Bugis. Ketiga etnis
ini banyak mengembangkan kekerabatan baik diantara segi tiga etnis mereka
maupun antar etnis lain yang ada di daerah ini. Dinamika mereka didorong oleh
semangat berlayar dan berdagang atau merantau ke negeri lain mencari nafkah.
Mereka didorong oleh tantangan alam dan latar sosial budaya. Bagi masyarakat
Wakatobi karena tantangan alamnya yang begunung-gunung dan letak geografis di
kepualuan sehingga mendorong mereka untuk mengalihkan arah tujuan hidup mereka
di laut atau di negeri lain mencari nafkah. Masyarakat Muna juga didorong oleh
tantangan alam yang bergunung-gunung sehingga mereka merantau untuk mencari
penghidupan yang lebih baik dengan mata pencaharian yang bervariasi di rantau
baik sebagai pelayar, pedagang, buruh, maun sebagai petani. Masyarakat Bugis melakukan pelayaran dan
perdagangan umumnya didorong oleh faktor sosial, tradisi kawin dengan mahar
yang tinggi menjadi tanggung jawab laki-laki merupakan salah satu faktor
penting dalam perantauan mereka, demikian pula ungkapan nasib akan berubah jika
meninggalkan tanah ugi (Negeri Bugis) untuk merantau menjadi prestise
tersendiri bagi pemuda Bugis. Demikian pula kesuksesan para perantau yang
kembali ke kampung halaman menjadi daya dorong lebih lanjut kepada generasi
lain untuk mengikutinya.
Peroses
perkawinan sebagai salah satu saluran perkembangan kekerabatan dalam masyarakat
etnik-etnik yang ada di Sultra berupaya melibatkan segenap anggota keluarga,
meskipun pada mulanya terdapat kecenderungan memilih jodoh diantara anggota
keluarganya, tetapi seiring dengan dinamika masyarakat dan pengaruh dari luar
akibat sikap keterbukaan masyarakat setempat terhadap masuknya etnik lain
bersama unsur-unsr budayanya, maka pada akhirnya terbukalah hubungan perkawinan
antar etnik. Gejala seperti ini menurut Fischer (1980) merupakan upaya untuk
memperluas areal kekerabatan.
Pengabaian
sikap eksklusif etnik-etnik yang ada di Sultra merupakan salah satu indikator
bahwa mereka telah meninggalkan salah satu ciri masyarakat tradisional. Mereka
telah lama bergerak menuju masyarakat majemuk dan terbuka terhadap
anasir-anasir asing yang dapat memperkaya budaya masyarakat setempat, bahkan
terjadi proses akulturasi budaya antar pendatang dan penduduk setempat yang
berpeluang melahirkan budaya unggul. Kenyataan tersebut merupakan terapi
pencegahan gejala disentegrasi bangsa melalui gesekan antar etnik yang ada di
Sulawesi Tenggara. Kondisi tersebut patut ditumbuh-kembangkan dalam menyosong
hari esok yang lebih cerah, khususnya dalam mewujudkan Sultra Raya 2020.
E. PENUTUP
Hubungan
kekerabatan antar etnik di Sulawesi Tenggara telah berlangsung sejak awal
terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat di Sulawesi Tenggara, kemudian
semakin meningkat saat terbetuk kerajaan-kerajaan tradisional di Mekongga,
Konawe, Wuna, Wolio, dan Moronen. Kemudian diperkuat dengan adanya jalinan
pelayaran dan perdagangan sehingga terjadi interaksi yang melahirkan
kekerabatan melalui perkawinan antar etnik.
Dalam
perjalanan sejarahnya sejak terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang ada
di Sulawesi Tenggara, kemudian datangnya gelombang migrasi selanjutnya pada
zaman kerajaan-kerajaan tradisional, sampai dengan era kemerdekaan yang semakin
meningkatkan arus imigrasi di Sulawesi Tenggara, justru semakin memperkaya dan
menumbuh-kembangkan hubungan kekerabatan yang terjalin melalui perkawinan, dan
tidak meninggalkan data tentang adanya gesekan yang berarti antar etnik yang
ada. Kenyataan itu terjadi, karena pada dasarnya bahwa kelompok-kelompok etnik
yang ada merupakan suatu rumpun yang memiliki pertalian darah dan perkawinan
sehingga merupakan suatu jalinan etnis besar.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, A.Z. 1995. “Perbandingan Buku Sastra
I La Galigo dengan Cerita Rakyat di Sulawesi Tenggara tentang Hubungan Raja-raja
di Sulawesi Selatan dan Raja-raja di Sulawesi Tenggara”. Makalah Seminar Eksistensi dan
Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Di
Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Anonim. 1976. Monografi Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Anonim. 1982. Dokumenta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Tenggara. Kendari: Sekretariat DPRD.
Anwar, dkk. 1989. Tinjauan Historis tentang Hubungan Bilateral antara Kerajaan Konawe
dengan Kerajaan Bone. Kendari: Balai Penelitian Unhalu.
Anwar.
2000. “Pelayaran Niaga Orang Buton pada Abad XX”. Dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. No. 027,
Tahun ke-6 November 2000 (Hal. 694-710).
Anwar.
2003. “Nilai-nilai Edukatif dari Perjalanan Sawerigading ke Dunia Timur”. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional
Sawerigading. Masamba, 10-14 Desember 2003.
Batoa,
L.K. 1991. Sejarah Kerajaan Daerah Muna. Raha: Astri.
Bhurhanuddin, B. dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi
Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Bhurhanuddin, B. dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik daerah Sulawesi
Tenggara. Kendari: Proyek IDKD Depdikbud.
Bhurhanuddin, B. 1981. Jejak Sejarah Tomanurung.
Kendari: Yayasan Karya Teknika.
Chalik, H. dkk. 1984. Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Delors, J., et al. (1996). Leraning: The Treasure Within. Paris: UNESCO.
Djami, M.A., dkk. 1988. Tinjauan
Sejarah tentang Pelabuhan Teluk Kendari. Kendari: Balai Penelitian Unhalu.
Djarudju, L.D.S. 1995. “Peranan Haluoleo
dalam Kerajaan dan Kesultanan Buton”. Makalah
Seminar Eksistensi dan Peranan Haluoleo dalam Perspektif Sejarah Lokal Sulawesi
Tenggara. Di Kendari tanggal 7-8 Agustus 1995.
Fischer, H.T. 1980. Pengantar Anropologi Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Pembangunan.
Kern, R.A. 1993. I La Galigo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Koentjaraningrat. 1984. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Kencana.
Mekuo, J. 1986. Sejarah Lokal Sulawesi Tenggara. Kendari: FKIP Unhalu.
Patunru, A.R.D. 1983. Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan.
Poesponegoro, M. D. dan Notosusanto, N. 1984.
Sejarah Nasional Indonesia I.
Jakarta: Balai Pustaka.
Razake, A.A. Dkk. 1989. Profil Kependudukan dan Keluarga Berencana Propinsi Sulawesi Tenggara.
Kendari: BKKBN.
Sagimun, MD, dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang Pergerakan Nasional. Jakarta:
Inti Idayu Press.
Subur, M. 1990. Peranan Sapati Manjawari terhadap Perkembangan Sejarah dan Budaya
Kerajaan Kotua di Pulau Kabaena. Kendari:
Skripsi FKIP Unhalu.
Suparlan, P. (2000). “Hak
Budaya Komuniti dan Integrasi Kebangsaan”. Makalah disajikan dalam Diskusi
Gandi Afternoon Forum- Nasionalisme dalam Kesetaraan Warganegara Memperkokoh
Integrasi Kebangsaan. Jakarta: 26
Oktober 2000.
Tarimana, A. 1987. “Sawerigading sebagai
Tokoh Legendaris Versi Sulawesi Tenggara”. Makalah disajikan dalam Seminar
Nasional Folktale Sawerigading Memperkaya
Kebudayaan Berwawasan Nusantara untuk Keteguhan Integrasi Bangsa. Palu 7-10
Agustus 1987.
Zuhdi, S. 1994. “Buton dalam Jalur Pelayaran
di Bagian Timur Nusantara Abad XVII-XVIII”. Makalah
Disajikan dalam Simposium Internasional Kajian Budaya Austronesia I Mengenang
Seabad Wafatnya Van Der Tuuk. Dempasar, 14-16 Agustus 1994.
Zuhdi, S. 1997. “Sulawesi Tenggara dalam
Jalur Pelayaran dan Perdagangan Internasional Abad ke-17 dan ke-18”. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional
Sejarah dan Masyarakat Maritim di Kawasan Timur Indonesia. Universitas
Haluoleo Kendari, 8-9 September 1997.
Warsilah, H. (2000). “Pelibatan
Partisipasi Kelompok-Kelompok dalam Resolusi Konflik”. Makalah disajikan
dalam Seminar Hubungan Antar Kelompok di Indonesia dan Model-Model Resolusi
Konflik. FISIP UI, Depok November
2000.
Disajikan dalam Seminar Lokakarya
Hubungan Kekerabatan Etnik-Etnik di Sulawesi
Tenggara
tanggal 29-30 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar