Selasa, 01 Januari 2013

PERAN ILMU SOSIAL DALAM PEBELAJARAN AGAMA





A. Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, terbukti amat bermanfaat. Dengan ditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum jahit. Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya bisa 23 tusukan setiap menit (Qardhawi, 1997). Dahulu Ratu Isabella (Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus (?). kemudian pada abad XIX Orang Eropa perlu 2 minggu untuk memperoleh berita pembunuhan Presiden Abraham Lincoln. Tapi pada tahun 1969, dengan sarana komunikasi canggih, dunia hanya perlu waktu 1,3 detik untuk mengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di bulan (Winarno, 2004). Dulu orang naik haji dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai ke Jeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam saja. Tapi di sisi lain, tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabat manusia.
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Pada tahun 1995, Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim bibinya setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang tuanya yang asli, ternyata telah disimpan di “bank” dan kemudian baru dititipkan pada bibinya, Elenna adik Luigi. Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal-usul sperma dan ovumnya bukan dari suami isteri. Bioteknologi dapat digunakan untuk mengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam beberapa menit saja (Bakry, 1996). Kloning hewan rintisan Ian Willmut yang sukses menghasilkan domba kloning bernama Dolly, akhir-akhir ini diterapkan pada manusia (human cloning). Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian.
Bagi bangsa Indonesia berusaha menangkal dampak Iptek bagai kehiduap berbangsa dan bermasyarakat melalui UU NO. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang menekankan pentingnya pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
 Di sinilah, peran ilmu sosial menjadi sangat penting untuk dijadikan instrumen dalam menangkal dampak negatif Iptek. Untuk itu perlu dicari kaitan ilmu sosial dengan agama dan menjadikan ilmu sosial sebagai tuntunan agar umat beragama memperoleh dampak yang positif saja dari perkembangan Ipteks, termasuk menjadikan ilmu sosial sebagai alat untuk mempercepat pemahaman dan pelestarian nilai-nilai agama.
Perkembangan ilmu pengetahuan adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan pengetahuan. Agama misalnya menurut pandangan Islam, yaitu untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak,makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah dan uqubat/sistem pidana).
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 jenis paradigma. Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat,
agama telah dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baiksecara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu
hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan (Al-Jawi, 2005).
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx yang ateis dan memandang agama sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat) (Ramly, 2000). Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya
sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma
sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme (Farghal, 1994).
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam
al-Qur`an dan al-Hadits menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran),
yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan
ilmu pengetahuan manusia 
 (http://groups.yahoo.com/group/pakpendidikonline /message/466).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami
dari ayat yang pertama kali turun (artinya):  “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. Al-‘Alaq [96]: 1).
Ayat tersebut berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah agama (Islam), karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995). Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT: “Dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.”(Qs. An-Nisaa` [4]: 126).

B. Peran Ilmu Sosial dalam Pengembangan Iptek2009
Peran ilmu dan riset sosial kemanusiaan  sangat diperlukan dalam pengembangan iptek di Indonesia. Teknologi  suatu proses dimanapun akan sama, akan tetapi teknologi itu tidak akan dapat bermanfaat dan dapat diterima di daerah  dan masyarakat yang berbeda. Oleh karena itu, peran ilmu dan riset sosial kemanusiaan sangat diperlukan sehingga teknologi yang ditemukan dan yang akan dikembangkan  dapat mempunyai nilai manfaat yang maksimal dan dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan situasi, kondisi, budaya dan sosial masyarakat setempat. 
Pemerintah telah menyadari arti penting ilmu sosial dalam rangka pembangunan bangsa. Bagi masyarakat religius, arah pembangunan harus berujung pada peningkatan kualitas iman dan taqwa bagi umat beragama, sehingga mereka mampu membangun kehidupan yang maju dan sejahtera.
Bagi umat Islam sesuai dengan Firman Allah “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190). Inilah paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek antara tahun 700–1400 M. Pada masa inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur, Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Arsyad, 1992; Bahreisj, 1995).
Aqidah Islam sebagai dasar Iptek inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Muhammad SAW.
Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi, sehingga perlu perubahan fundamental, dengan cara mengganti paradigma sekuler yang ada saat ini, dengan paradigma religius (Islam) yang memandang bahwa Aqidah agama (Islam) bukan paham sekularisme yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu pengetahuan manusia. Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari agama (al-Qur`an dan al-Hadits), tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandarisasi benar salahnya dengan tolok ukur agama (al-Qur`an dan al-Hadits) dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996).
Perkembangan penemuan dan hasil  riset  bidang teknologi yang cepat tanpa melibatkan kajian dan riset-riset sosial  dan kemanusiaan tidak akan bermanfaat secara maksimal”. Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang peran ilmu dan riset sosial kemanusiaan dalam realita  hubungan pengembangan agama perlu dilakukan dalam keterkaitannya dengan perumusan kebijakan untuk mengembangkan kehidupan sosial di Indonesia sesuai Pasal 31 ayat 5 UUD-45 hasil amandemen ke-4 berbunyi bahwa Pemerintah memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejaheraan umat manusia.
Sebagian ilmuwan menyadari perlunya ada kajian sosial dan kemanusiaan yang lebih berperan dan memberi nunasa terhadap arah perkembangan teknologi yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat, jadi bukan masyarakat yang harus menyesuaikan adanya teknologi tetapi harus teknologi yang diciptaakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk pengembangan agama (http://www.ristek.go.id/?module=News+News&id=4835).

C. Peran Ilmu Sosial dalam Pembelajaran Agama
Dalam ceramah monologi cenderung pemuka agama menggunakan teknik komunikasi yang bisa menggugah pendengar/pemirsanya, sehingga sering menggunakan istilah-istilah yang populer atau ungkapan filosofis dalam suatu bahasa daerah atau bahasa asing. tidak sedikit pula pemuka agama menggunakan cerita anekdot (cerita lucu) yang relevan dengan tema ceramahnya. Dalam kaitan ini, pendidikan memegang peranan penting yang dapat menghubungan konsep ilmu sosial dengan agama, karena pendidikan mencakup 3 domain, yaitu: (1) pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pembelajaran, (2) keterampilan motorik yang dapat diperoleh melalui pelatihan, dan (3) sikap/moral/nilai yang dapat diperoleh melalui bimbingan. Ketiga domian itu dapat diterapkan secara sendiri-sendiri dan atau secara simultan, tetapi nuansa pendidikan/pembelajaran yang baik, jika dapat menerapkan ketiganya secara simultan. Penerapannya, disesuikan dengan tingkat usia, latar belakang, sasaran pembelajaran, dan sarana/media pembelajaran yang tersedia.     
Berkembangnya dinamika masyarakat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga para pemuka agama harus memanfaatkan IPTEK sebagai media pengembangan umat beragama baik dalam dimensi aqidah/ajaran agama, maupun  dalam pemberdayaan ekonomi umat (Islam=muamalat).
Perkembangan psikologis dan biologis manusia diikuti pula perkembangan kebutuhan, namun pemenuhan kebutuhan setiap fase perkembangan memerlukan suatu keterampilan tersediri. Pendekatan psikologi dalam pengembangan agama dapat dianalogikan dengan pembelajaran manusia yang dibagi tiga tahapan/pendekatan teoreris dalam upaya pengembangannya/pembelajarannya, yaitu: (1) masa anak-anak dilakukan dengan pendekatan pedagogy, (2) masa dewasa dilakukan dengan pendekatan andragogy, dan (3) masa lanjut usia dilakukan dengan pendekatan gerontology. Pandangan ini sejalan dengan konsep “Pendidikan Seumur Hidup” (Long life education) dan “Pembelajaran Sepanjang Hayat” (long life learning).
Pemuka agama harus menyesuaikan metode dakwanya sesuai dengan usia kelompok sasaran. Pertama, pendekatan pedagogi untuk kelompok anak-anak, dengan penekanan pada pemberian contoh yang baik dalam konsep Ki Hajar Dewantara Ing Madya Mangungkarsa. lebih dominan menampilkan arahan teori konstruktivisme, yang berupaya mengkonstruk sasaran sesuai dengan kehendak ajaran agama.
Misalnya berdakawah kepada kelompok anak-anak dengan memanfaatkan permainan sebagai instrumen pengembangan potensi anak melalui proses belajar sambil bermain. Dalam proses bermain ada nilai-nilai agama yang harus dimasukkan, misalnya: kejujuran, sportivitas, keberanian mengemukakan kebenaran. Contoh: permainan Patolele (Suku Tolaki/Mekongga) setiap pemain harus menghitung sendiri poin yang diperolehnya dengan menghitung jarak lemparan anak patolele yang memakai induk patolele. pada akhir permainan, jika kalah harus mengakui kekalahan dan jika menang tidak menyombongkan diri. Patolele ini dibuat dalam dua bagian yaitu pemukulnya (polangguno) induknya dan alat yang akan dipukul (palele). Pemukul alat patolele ini berukuran 4  jengkal tangan atau sekitar 72 cm dan anaknya berukuran 1 jengkal tangan atau sekitar 18 cm. Permainan ini dimainkan oleh 3 orang atau 5 orang. perhitungan nilai menggunakan tongkat (polangguno) kelipatan 10 diukur dengan berapa tongkat dari posisi anak patolele tersebut menuju lubang pemukulan (Anwar, 2010).
Seorang pemuka agama/pendeta harus mampu memilih permainan yang memiliki Lima karakter bermain siperti dikatakan Mulyadi (1997), yaitu: (1) sesuatu yang menyenangkan dan memiliki nilai positif, (2) didasari motivasi yang muncul dari dalam diri anak, (3) spontan dan sukarela, (4) melibatkan peran aktif anak, dan (5) memiliki hubungan sistematik dengan sesuatu yang positif, seperti: kreativitas, bersosialisasi, sportivitas.
Bukankah tempat-tempat ibadah dapat dijadikan sebagai media/tempat bagi anak untuk bermain sambil beribadah, seperti: di gereja anak-anak belajar menyanyi relegi yang selanjutnya dilagukan saat beribadah yang sesungguhnya, di Masjid anak-anak belajar mengaji dengan suara merdu, belajar/lomba azan, belajar menyanyi religius/kasidah.
Kedua, pendekatan andragogi. Ketika manusia menjadi dewasa, maka kebutuhannya semakin meningkat, pengalamannya semakin banyak, demikian pula manusia yang hidup di era modern, tingkat kecerdasannya semakin tinggi. kondisi tersebut tidak terlepas dari karakter industri sebagai hasil penerapan, pengembangan, dan pemanfaatan IPTEK yang menjadi daya dorongnya. Kecenderungan masyarakat industri yang kecerdasan emosional, spiritual, dan sosialnya mengalami penurunan, telah menjadi kekhawatiran berbagai pihak. oleh karena itu, bagi masyarakat industri, perlu dikembangkan strategi dakwah/penyiaran agama yang dapat menjamin tetap eksisnya kecerdasan spiritual, emosional, dan sosial (Sumaatmadja, 2002).  Kelompok sasaran orang dewasa ini pemuka agama harus menempatkan diri sebagai fasilitator Oleh Ki Hajar Dewantara disebutnya Ing ngarso suntulodo memberi semangat karena berangkat dari asumsi bahwa mereka telah memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman sehingga lebih banyak bersifat melakukan konfirmasi terhadap pengetahuan dan pengalaman awal kelompok sasaran atau tidak mengpendidiki mereka. Arah pembelajaranb mereka lebih condong pada teori belajar sosial yang dalam implementasinya digunakan pendekatan andragogi.
Konsep andragogi didasarkan pada empat asumsi tentang karakteristik peserta didik (1) konsep diri bergerak dari seseorang pribadi yang bergantung ke arah pribadi yang mandiri, (2) manusia mengakumulasikan banyak pengalaman yang diperolehnya sehingga menjadi suatu sumber belajar yang berkembang, (3) kesiapan belajar manusia secara meningkat diorientasikan pada tugas perkembangan peran sosial yang dibawa, dan (4) perspektif waktunya berubah dari satu pengetahuan yang tertunda penerapannya menjadi penerapan yang segera, seiring dengan orientasinya terhadap belajar beralih dari satu orientasi terpusat pada mata pelajaran kepada orientasi terpusat pada masalah (Knowles, 1981).
Hendrickson menguraikan sembilan prinsip pembelajaran orang dewasa, yaitu: (1) pembelajaran yang baik memperhatikan pengalaman belajar negatif  pada masa lalu, dan mendorong pembelajar untuk meraih keberhasilan di masa datang, (2) memperbaiki hubungan antara suasana sosial yang menyenangkan dan suasana pendidikan yang memuaskan, (3) kecepatan belajar peserta didik, (4) tidak hanya memperhatikan kebutuhan terhadap satu pengalaman keberhasilan, tetapi juga kebutuhan terhadap beberapa pengalaman keberhasilan, (5) mengakui keabsahan prinsip keterlibatan, (6) mengakui orang dewasa sebagai sumber pembelajaran yang utama, (7) mengakui bahwa tujuan orang dewasa itu bersifat konkrit dan harus segera dicapai, (8) memperhatikan kedudukan faktor motivasi dalam proses belajar, dan (9) mengakui kelelahan fisik dan mental sebagai faktor penghambat proses belajar orang dewasa (Soebari, 2000).
Pembelajaran dengan pendekatan andragogi didasarkan atas tiga asumsi menurut Knowles (1980). Ketiga asumsi tersebut adalah: (1) orang dewasa dapat belajar, dasar kemampuan belajarnya tetap ada sepanjang hidupnya, jika mereka tidak menampilkan kemampuan belajar yang sebenarnya maka ada faktor penyebabnya, seperti mereka telah lama meninggalkan belajar sistematis atau adanya faktor fisiologik, (2) belajar sebagai proses internal, pentingnya implikasi pada praktek pembelajaran orang dewasa sebagai proses internal, maka semua metode dan teknik yang digunakan harus mampu melibatkan individu secara mendalam untuk mengembangkan dirinya dalam menciptakan pembelajaran yang baik, (3) dalam pembelajaran orang dewasa terdapat kondisi umum dan prinsip-prinsip pembelajaran yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan melalui proses pembelajaran yang transaksional. Kondisi dan prinsip-prinsip pembelajaran dimaksud disajikan pada tabel berikut.


Tabel 1
Kondisi Belajar dan Prinsip Pembelajaran Andragogi
Kondisi Belajar
Prinsip-prinsip Pembelajaran
1.  Peserta merasa ada kebutuhan untuk belajar








2.  Lingkungan belajar ditandai oleh keadaan fisik yang menyenangkan, saling menghormati, mempercayai, membantu kebebasan mengemukakan pendapat dan menyetujui adanya perbedaan.














3.  Peserta memandang tujuan pengalaman belajar sebagai tujuannya.

4.  Peserta setuju saling urut tanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan pengalaman belajar, dan sampai saat itu ada perasaan terhadap komitmen.

5.  Peserta berpartisipasi secara aktif  dalam proses pembelajaran.



6.  Proses pembelajaran dikaitkan dan menggunakan pengalaman peserta.











7.  Peserta merasakan akan kemajuan tujuan belajarnya.

1.  Fasilitator mengemukakan kepada peserta kemungkinan baru untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
2.  Fasilitator membantu peserta memperjelas aspirasi dirinya untuk meningkatkan perilakunya.
3.  Fasilitator membantu peserta mendiagnosa perbedaan antara aspirasi dengan tingkat penampilannya sekarang.

4.  Fasilitator membantu peserta memecahkan masalah kehidupan yang dialami karena adanya perbedaan tadi.
5.  Fasilitator memberikan kondisi fisik yang menyenangkan seperti tempat duduk, ventilasi, lampu, dan sebagainya yang kondusif untuk menciptakan interaksi antar satu peserta dengan peserta lainnya.
6.  Fasilitator memandang bahwa setiap peserta merupakan pribadi yang bermanfaat dan menghormati perasaan serta gagasannya.
7.  Fasilitator membangun hubungan saling membantu antara peserta dengan mengembangkan kegiatan bersifat komprehensif, mencegah adanya persaingan, dan saling memberikan penilaian.
8.  Fasilitator membuka diri atau menerima apa adanya dan sumber-sumber kontribusi sebagai suatu bentuk kerjasama pembelajaran dalam semangat saling pencarian bersama.

9.  Fasilitator melibatkan peserta dalam merumuskan tujuan belajar dengan memperhitungkan kebutuhan peserta, lembaga, fasilitator, dan masyarakat.

10. Fasilitator ikut urun ide dalam merencanakan pengalaman belajar, memilih bahan, metode, dan melibatkan peserta dalam setiap keputusan bersama.





11.  Fasilitator membantu mengorganisasikan dirinya (kelompok kegiatan, tim belajar-mengajar, studi independen, dan sebagainya) untuk bertanggung jawab dalam pencarian bersama.

12.  Fasilitator membantu peserta menggunakan pengalaman mereka sendiri sebagai sumber belajar melalui teknik diskusi, permainan peran, studi kasus, dan sebagainya.
13.  Fasilitator menyampaikan presentasinya berdasarkan sumber dari peserta dan sesuai dengan tingkat pengalaman mereka.
14.  Fasilitator membantu peserta mengaplikasikan pembelajaran baru terhadap pengalaman mereka dan ini berarti membuat belajar lebih bermakna dan terpadu.

15.  Fasilitator melibatkan peserta dalam mengembangkan kriteria yang disetujui bersama dan menggunakan metode tertentu dalam mengukur tujuan belajar.
16.  Fasilitator membantu peserta mengembangkan dan mengaplikasikan prosedur dalam mengevaluasi diri sendiri berdasarkan keriteria itu.
Sumber: Knowles (1980).
Berdasarkan tabel tersebut, nampak bahwa fasilitator harus mampu merangsang peserta didik dengan berbagai strategi untuk aktif dalam setiap tahap pembelajaran sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Kondisi dan prinsip-prinsip pembelajaran tersebut sangat relevan dalam pembelajaran keterampilan keagamaan, karena selama ini kegiatan pembelajaran berlangsung tanpa adanya perencanaan yang secara aktif dapat memperhatikan kondisi dan prinsip tersebut.
Pine dan Horne mengemukakan sembilan prinsip pembelajaran yang terkait dengan orang dewasa: (1) belajar adalah pengalaman yang terjadi dalam diri pembelajar dan diaktifkan oleh pembelajar itu sendiri, (2) belajar adalah penemuan makna pribadi dan relevansi gagasan, (3) belajar adalah konsekuensi dari pengalaman, (4) belajar adalah proses kooperatif dan kolaboratif, (5) belajar adalah proses evaluasi, (6) belajar kadang-kadang merupakan proses yang menyakitkan, (7) salah satu sumber belajar yang paling kaya adalah pembelajar itu sendiri, (8) proses belajar bersifat emosional, intelektual dan pemecahan masalah, (9) proses belajar sangat unik dan bersifat individual (Soebari, 2000).
Orang dewasa belajar harus diperhatikan gaya belajar yang khas masing-masing individu, sehingga mereka mau dan mampu belajar menyeseuaikan diri dengan lingkungan pembelajaran dan materi pembelajaran. Mereka cenderung selalu mau mengaitkan kegiatan dan materi ajar memiliki muatan ekonomi.
Ketiga, pendekatan gerontologi. Kelompok manusia lanjut usia, yang selama ini diasumsikan tidak bisa lagi belajar dan tidak mau lagi belajar. Tentu ini keliru dan terbantahkan dengan lahirnya teori gerontologi (seni mendidik manusia lanjut usia). Kelompok manusia lanjut usia ini dalam konsep Ki Hajar Dewantara disebut Tut Wuri Handayani. biarkan mereka berkembang ikuti dari belakang. Orang lanjut usia kaya dengan pengetahuan dan pengalaman, sehingga pemuka agama cukup merangsang/memotivasi mereka sehingga dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki berupa pengetahuan dan pengalaman yang begitu kompleks. Sehingga diperlukan dialog dengan menempatkan mereka sebagai orang yang bisa membagi pengalaman dan pengetahuannya kepada orang lain.
Gaya belajar orang lanjut usia cenderung lebih variatif dibanding orang dewasa, orientasi belajar mereka selalu dikaitkan dengan pengalamannya, berbasis sosial budaya, dan religius. Para orang lanjut usia cenderung mengpendidiki orang lain, sehingga pemuka agama sebagai pendidik, harus menempatkan mereka sebagai orang yang dituakan, sehingga pemuka agama harus mampu menyesuaikan gaya belajar mereka dengan mengarahkan arah pembicaraan atau arah belajar mereka.

D. Strategi Pemanfaatan Ilmu Sosial dalam Pembelajaran Agama
Dalam kaitan dengan metode dan media pembelajaran agama, kemajuan teknologi digital, menjadi salah satu dasar penjelajahan manusia tanpa fisik, tanpa tatap muka, manusia dapat berkomunikasi. Penjelajahan semacam ini, selain meningkatkan kecerdasan intelektual, menghemat biaya, waktu, dan tenaga, namuan dapat menghambat suasana emosional, spiritual dan sosial. Oleh karena itu, para tokoh agama sebagai agen perubahan, perlu melakukan invensi dan atau mengadopsi model-model pembedayaan dalam dimensi sosial, sehingga dapat diterapkan dalam pengembangan agama.
1.  Pemanfaatan model bisnis multi level, dan social marketing dalam manajem pemasaran, melalui pesan-pesan ajaran agama dari seseorang dapat disebar-luaskan melalui SMS, sehingga suatu nilai/ajaran agama dapat transpormasikan secara cepat dengan populasi sasaran yang lebih besar dan pesan yang diterima secara utuh dari tokoh agama kepada umatnya.
2.  Pemanfaatan media berbasis sosial budaya, misalnya untuk kepentingan pemahaman nilai-nilai Agama Hindu dengan metode apa yang disebut Dharma Wacana (Khutbah=Islam). Dharma Wacana adalah sebuah metode penyuluhan agama Hindu yang akhir-akhir ini telah mendapat tempat di hati umat Hindu di Indonesia. Namun, khusus di Bali lebih dominan menggunakan Bahasa Bali dibandingkan dengan Bahasa Indonesia. Dicontohkan tokoh Ida Pedanda Made Gunung yang setiap hari memberikan dharma wacana ke seluruh pelosok ia dengan santun dan menarik menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dalam setiap ceramahnya (Suastika, 2008).
3.  Pemanfaatan media fotonovela dengan menampilkan dua potret kehidupan di satu sisi poteret kehidupan yang tidak diinginkan (bertentangan dengan ajaran agama), dan di sisi lain potret kehidupan yang diinginkan atau yang sesuai dengan ajaran agama yang sedang diajarkan. 
4.  Pembelajaran tolerasi melalui muatan ajar multikulturalisme sesuai dengan rekomendasi UNESCO bahwa pada abad XXI program pendidikan hendaknya mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat sehingga mau dan mampu belajar (learning to know or learning to learn). Bahan belajar yang dipilih hendaknya mampu memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada peserta didiknya  (learning to do), dan mampu memberikan motivasi untuk hidup dalam era sekarang dan memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning to be). Bahan belajar, selain untuk dirinya sendiri, juga keterampilan untuk hidup bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan hidup dalam pergaulan antar bangsa-bangsa dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (leaning to live together) (Delors, 1996).
Firman Allah SWT: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (Qs. Al-Hujuraat [49]: 13).  Implikasi lain dari prinsip ini, yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek, adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari sumber kaum non muslim. Dulu Nabi Muhammad SAW menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal strategi militer itu berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi. Dulu Nabi Muhammad SAW juga pernah memerintahkan dua sahabatnya memepelajari teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Kristen. Umar bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal (Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum non-muslim (http://groups.yahoo.com/group/pakpendidikonline/message/466).
Indonesia adalah Negara yang penduduknya dikenal religius, karena itu peranan Ilmu pengetahuan termasuk Ilmu-ilmu sosial sangat penting. Mengutip pernyataan “Mesthene” bahwa teknologi tidak dapat selalu menghadirkan kebaikan, tanpa kontribusi dari penelitian Ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam pengembangan Teknologi di masa depan seperti yang terjadi selama ini, maka “kekhawatiran Faustian” bahwa pemberian kepercayaan yang terlalu besar kepada perkembangan teknologi sama maknanya dengan membuat perjanjian dengan setan, akan dapat benar-benar menjadi sebuah kenyataan..
Belajar dari sejarah panjang pengalaman Negara-negara maju, kita mengetahui bahwa perkembangan Teknologi dan Ilmu pengetahuan yang telah melahirkannya tidak selalu menghasilkan “kebaikan” (tonic potentialities). Akan tetapi seringkali juga melahirkan “persoalan”(toxic potentialities). Perkembangan teknologi bahkan seringkali memiliki kecendrungan lebih banyak menghasilkan kemudharatan dari pada kecendrungannya menghasilkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, masyarakat, dan lingkungan (http://www.timorexpress.com/index.php?act=news &nid=40695).
Pembelajaran agama melalui ilmu sosial dapat mendekatkan umat beragama kepada nilai-nilai sosial budaya, termasuk memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran, sehingga mempermudah pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama. Tanpa adanya upaya mengadopsi dan mengadaptasi model yang berkembang dalam kehidupan sosial atau teori-teori ilmu sosial tersebut, maka pemuka agama akan ditinggalkan oleh umatnya. 
Sepanjang sejarah, peradaban telah bergantung pada ilmu pengetahuan dan agama sebagai dua sistem utama pengetahuan yang telah membimbing pengembangan intelektual dan moral. Metode ilmu pengetahuan telah memungkinkan manusia untuk membangun pemahaman yang koheren. Pencerahan, pada kenyataannya, menandai titik balik penting dalam melepaskan kesadaran manusia dari belenggu pemahaman agama yang ortodoksi dan fanatisme. Melalui konsep ilmu sosial dapat memperkuat basis metode dan strategi pembelajaran agama bagi pemuka agama dan seluruh umat beragama.
Dalam konteks globalisasi idiologi industrialisasi dan kapitalisme yang saat ini menjadi semakin problematik oleh karena basis rasionalitas cara berpikir banyak orang, sehingga dipandang perlu: (1) Para pemuka agama harus menjadi “Juru bicara” dari kelompoknya yang kepentingan mereka diartikulasikan dalam kehidupan sehari-hari, (2) Para ilmuwan sosial harus membangun komitmen dan kerjasama, dalam melihat persoalan-persoalan pada abab 21 ini dengan lebih kritis dan jujur, untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan agama baik dalam konteks Indonesia maupun dalam konteks Global. Pentingnya Ilmu-ilmu sosial dalam pembelajaran agama yaitu memperkaya model dan metode penerapan dakwah bagi para pemuka agama, dengan mengadopsi unsur-unsur inovatif dan strategis dari berbagai cabang disiplin ilmu sosial.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar