A. Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi berdampak positif, yakni
dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri,
komunikasi, dan transportasi, terbukti amat bermanfaat. Dengan ditemukannya
mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukan jarum jahit.
Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya bisa 23 tusukan setiap
menit (Qardhawi, 1997). Dahulu Ratu Isabella
(Italia) di abad XVI perlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional
untuk memperoleh kabar penemuan benua Amerika oleh Columbus (?). kemudian pada
abad XIX Orang Eropa perlu 2 minggu untuk memperoleh berita pembunuhan Presiden
Abraham Lincoln. Tapi pada tahun 1969, dengan sarana komunikasi canggih, dunia
hanya perlu waktu 1,3 detik untuk mengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di
bulan (Winarno, 2004). Dulu orang naik haji dengan kapal laut bisa memakan
waktu 17-20 hari untuk sampai ke Jeddah. Sekarang
dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam saja. Tapi di sisi lain,
tak jarang iptek berdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan
dan martabat manusia.
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M. Pd.
Bom
atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun
1945. Pada tahun 1995, Elizabetta, seorang bayi Italia, lahir dari rahim bibinya
setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal. Ovum dan sperma orang
tuanya yang asli,
ternyata telah disimpan di “bank” dan kemudian baru dititipkan pada bibinya,
Elenna adik Luigi. Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal-usul
sperma dan ovumnya bukan dari suami isteri. Bioteknologi dapat digunakan untuk
mengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnya
mengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalam
beberapa menit saja (Bakry, 1996). Kloning hewan rintisan Ian Willmut yang
sukses menghasilkan domba kloning bernama Dolly, akhir-akhir ini diterapkan
pada manusia (human cloning).
Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara, dan hutan juga tak sedikit
mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parah dan berbahaya. Beberapa
varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga diindikasikan berbahaya bagi
kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkan teknologi internet sebagai
sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cyber
crime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian.
Bagi bangsa Indonesia berusaha menangkal dampak
Iptek bagai kehiduap berbangsa dan bermasyarakat melalui UU NO. 20 tahun 2003
tentang SISDIKNAS yang menekankan pentingnya pengembangan potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Di sinilah, peran ilmu sosial menjadi sangat
penting untuk dijadikan instrumen dalam menangkal dampak negatif Iptek. Untuk
itu perlu dicari kaitan ilmu sosial dengan agama dan menjadikan ilmu sosial
sebagai tuntunan agar umat beragama memperoleh dampak yang positif saja dari
perkembangan Ipteks, termasuk menjadikan ilmu sosial sebagai alat untuk
mempercepat pemahaman dan pelestarian nilai-nilai agama.
Perkembangan
ilmu pengetahuan adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk
memperluas, memperdalam, dan mengembangkan pengetahuan. Agama misalnya menurut
pandangan Islam, yaitu untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya
(dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri
(dengan aturan akhlak,makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan
manusia lainnya (dengan aturan
mu’amalah dan uqubat/sistem pidana).
Bagaimana
hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi
yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 jenis paradigma.
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam
ideologi sekularisme Barat,
agama telah dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baiksecara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
agama telah dipisahkan dari kehidupan. Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baiksecara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
Kedua, paradigma
sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi
agama sama sekali. Agama itu tidak ada, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun
dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari
agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih
ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu
tidak dinafikan keberadaannya, tapi
hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam
paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada
(in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan (Al-Jawi, 2005).
Paradigma
tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx yang ateis dan memandang agama
sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang terbius dan
lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan Agama adalah
keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa,
sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama
adalah candu bagi rakyat) (Ramly, 2000). Berdasarkan
paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya
sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma
sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme (Farghal, 1994).
sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma
sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme (Farghal, 1994).
Ketiga, paradigma
Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam
menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam
al-Qur`an dan al-Hadits menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran),
yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan
ilmu pengetahuan manusia (http://groups.yahoo.com/group/pakpendidikonline /message/466).
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam
al-Qur`an dan al-Hadits menjadi qa’idah fikriyah (landasan pemikiran),
yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan
ilmu pengetahuan manusia (http://groups.yahoo.com/group/pakpendidikonline /message/466).
Paradigma
ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami
dari ayat yang pertama kali turun (artinya): “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. Al-‘Alaq [96]: 1).
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami
dari ayat yang pertama kali turun (artinya): “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. Al-‘Alaq [96]: 1).
Ayat
tersebut berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi
segala pemikirannya itu tidak boleh lepas
dari Aqidah agama (Islam), karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap
berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995). Paradigma Islam ini
menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada pada
pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang mencakup dan
meliputi segala sesuatu (Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT: “Dan adalah
(pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.”(Qs. An-Nisaa` [4]: 126).
B. Peran
Ilmu Sosial dalam Pengembangan Iptek
Peran ilmu dan
riset sosial kemanusiaan sangat diperlukan dalam pengembangan iptek di
Indonesia. Teknologi suatu proses dimanapun akan sama, akan tetapi
teknologi itu tidak akan dapat bermanfaat dan dapat diterima di daerah
dan masyarakat yang berbeda. Oleh karena itu, peran ilmu dan riset sosial
kemanusiaan sangat diperlukan sehingga teknologi yang ditemukan dan yang akan
dikembangkan dapat mempunyai nilai manfaat yang maksimal dan dapat
diterima oleh masyarakat sesuai dengan situasi, kondisi, budaya dan sosial
masyarakat setempat.
Pemerintah
telah menyadari arti penting ilmu sosial dalam rangka pembangunan bangsa. Bagi
masyarakat religius, arah pembangunan harus berujung pada peningkatan kualitas
iman dan taqwa bagi umat beragama, sehingga mereka mampu membangun kehidupan
yang maju dan sejahtera.
Bagi
umat Islam sesuai dengan Firman Allah “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (Qs. Ali ‘Imran [3]: 190). Inilah
paradigma Islam yang menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar segala pengetahuan
seorang muslim. Paradigma inilah yang telah mencetak muslim-muslim yang taat
dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek antara tahun 700–1400 M. Pada masa
inilah dikenal nama Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur,
Al-Khawarzmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi, Al-Battani (w.
858) sebagai ahli astronomi dan matematika, Al-Razi (w. 884) sebagai pakar
kedokteran, dan kimia, Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Arsyad, 1992; Bahreisj, 1995).
kedokteran dan teknik, dan masih banyak lagi (Arsyad, 1992; Bahreisj, 1995).
Aqidah
Islam sebagai dasar Iptek inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam
iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi
iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Muhammad SAW.
Kekeliruan
paradigmatis ini harus dikoreksi, sehingga perlu perubahan fundamental, dengan
cara mengganti paradigma sekuler yang ada saat ini, dengan paradigma religius
(Islam) yang memandang bahwa Aqidah agama (Islam) bukan paham sekularisme yang
seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu pengetahuan manusia. Namun di
sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah dijadikan landasan
iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari agama (al-Qur`an
dan al-Hadits), tapi maksudnya adalah konsep iptek harus distandarisasi benar
salahnya dengan tolok ukur agama (al-Qur`an dan al-Hadits) dan tidak boleh
bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996).
Perkembangan
penemuan dan hasil riset bidang teknologi yang cepat tanpa
melibatkan kajian dan riset-riset sosial dan kemanusiaan tidak akan
bermanfaat secara maksimal”. Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang peran
ilmu dan riset sosial kemanusiaan dalam realita hubungan pengembangan
agama perlu dilakukan dalam keterkaitannya dengan perumusan kebijakan untuk
mengembangkan kehidupan sosial di Indonesia sesuai Pasal 31 ayat 5 UUD-45 hasil
amandemen ke-4 berbunyi bahwa Pemerintah memajukan iptek dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta
kesejaheraan umat manusia.
Sebagian ilmuwan
menyadari perlunya ada kajian sosial dan kemanusiaan yang lebih berperan dan memberi nunasa
terhadap arah perkembangan teknologi yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat, jadi bukan masyarakat
yang harus menyesuaikan adanya teknologi tetapi harus teknologi yang
diciptaakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk pengembangan agama (http://www.ristek.go.id/?module=News+News&id=4835).
C. Peran Ilmu Sosial dalam Pembelajaran
Agama
Dalam
ceramah monologi cenderung pemuka agama menggunakan teknik komunikasi yang bisa
menggugah pendengar/pemirsanya, sehingga sering menggunakan istilah-istilah
yang populer atau ungkapan filosofis dalam suatu bahasa daerah atau bahasa
asing. tidak sedikit pula pemuka agama menggunakan cerita anekdot (cerita lucu)
yang relevan dengan tema ceramahnya. Dalam kaitan ini, pendidikan memegang
peranan penting yang dapat menghubungan konsep ilmu sosial dengan agama, karena
pendidikan mencakup 3 domain, yaitu: (1) pengetahuan yang dapat diperoleh
melalui pembelajaran, (2) keterampilan motorik yang dapat diperoleh melalui
pelatihan, dan (3) sikap/moral/nilai yang dapat diperoleh melalui bimbingan.
Ketiga domian itu dapat diterapkan secara sendiri-sendiri dan atau secara
simultan, tetapi nuansa pendidikan/pembelajaran yang baik, jika dapat
menerapkan ketiganya secara simultan. Penerapannya, disesuikan dengan tingkat
usia, latar belakang, sasaran pembelajaran, dan sarana/media pembelajaran yang
tersedia.
Berkembangnya
dinamika masyarakat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga para pemuka agama harus memanfaatkan IPTEK sebagai media pengembangan
umat beragama baik dalam dimensi aqidah/ajaran agama, maupun dalam pemberdayaan ekonomi umat
(Islam=muamalat).
Perkembangan
psikologis dan biologis manusia diikuti pula perkembangan kebutuhan, namun
pemenuhan kebutuhan setiap fase perkembangan memerlukan suatu keterampilan
tersediri. Pendekatan psikologi dalam pengembangan agama dapat dianalogikan
dengan pembelajaran manusia yang dibagi tiga tahapan/pendekatan teoreris dalam
upaya pengembangannya/pembelajarannya, yaitu: (1) masa anak-anak dilakukan
dengan pendekatan pedagogy, (2) masa
dewasa dilakukan dengan pendekatan andragogy, dan (3)
masa lanjut usia dilakukan dengan pendekatan gerontology. Pandangan ini sejalan dengan konsep “Pendidikan Seumur
Hidup” (Long life education) dan
“Pembelajaran Sepanjang Hayat” (long life
learning).
Pemuka
agama harus menyesuaikan metode dakwanya sesuai dengan usia kelompok sasaran. Pertama, pendekatan pedagogi untuk
kelompok anak-anak, dengan penekanan pada pemberian contoh yang baik dalam
konsep Ki Hajar Dewantara Ing Madya
Mangungkarsa. lebih dominan menampilkan arahan teori konstruktivisme, yang berupaya mengkonstruk sasaran sesuai dengan
kehendak ajaran agama.
Misalnya
berdakawah kepada kelompok anak-anak dengan memanfaatkan permainan sebagai
instrumen pengembangan potensi anak melalui proses belajar sambil bermain.
Dalam proses bermain ada nilai-nilai agama yang harus dimasukkan, misalnya:
kejujuran, sportivitas, keberanian mengemukakan kebenaran. Contoh: permainan Patolele (Suku Tolaki/Mekongga) setiap
pemain harus menghitung sendiri poin yang diperolehnya dengan menghitung jarak
lemparan anak patolele yang memakai induk patolele. pada akhir permainan,
jika kalah harus mengakui kekalahan dan jika menang tidak menyombongkan diri. Patolele ini dibuat dalam dua bagian
yaitu pemukulnya (polangguno)
induknya dan alat yang akan dipukul (palele).
Pemukul alat patolele ini berukuran
4 jengkal tangan atau sekitar 72 cm dan
anaknya berukuran 1 jengkal tangan atau sekitar 18 cm. Permainan ini dimainkan
oleh 3 orang atau 5 orang. perhitungan nilai menggunakan tongkat (polangguno) kelipatan 10 diukur dengan
berapa tongkat dari posisi anak patolele
tersebut menuju lubang pemukulan (Anwar, 2010).
Seorang
pemuka agama/pendeta harus mampu memilih permainan yang memiliki Lima karakter
bermain siperti dikatakan Mulyadi (1997), yaitu: (1) sesuatu yang menyenangkan
dan memiliki nilai positif, (2) didasari motivasi yang muncul dari dalam diri
anak, (3) spontan dan sukarela, (4) melibatkan peran aktif anak, dan (5)
memiliki hubungan sistematik dengan sesuatu yang positif, seperti: kreativitas,
bersosialisasi, sportivitas.
Bukankah
tempat-tempat ibadah dapat dijadikan sebagai media/tempat bagi anak untuk
bermain sambil beribadah, seperti: di gereja anak-anak belajar menyanyi relegi
yang selanjutnya dilagukan saat beribadah yang sesungguhnya, di Masjid
anak-anak belajar mengaji dengan suara merdu, belajar/lomba azan, belajar
menyanyi religius/kasidah.
Kedua, pendekatan andragogi.
Ketika manusia menjadi dewasa, maka kebutuhannya semakin meningkat,
pengalamannya semakin banyak, demikian pula manusia yang hidup di era modern, tingkat
kecerdasannya semakin tinggi. kondisi tersebut tidak terlepas dari karakter
industri sebagai hasil penerapan, pengembangan, dan pemanfaatan IPTEK yang
menjadi daya dorongnya. Kecenderungan masyarakat industri yang kecerdasan
emosional, spiritual, dan sosialnya mengalami penurunan, telah menjadi
kekhawatiran berbagai pihak. oleh karena itu, bagi masyarakat industri, perlu
dikembangkan strategi dakwah/penyiaran agama yang dapat menjamin tetap eksisnya
kecerdasan spiritual, emosional, dan sosial (Sumaatmadja, 2002). Kelompok sasaran orang dewasa ini pemuka
agama harus menempatkan diri sebagai fasilitator Oleh Ki Hajar Dewantara
disebutnya Ing ngarso suntulodo
memberi semangat karena berangkat dari asumsi bahwa mereka telah memiliki
banyak pengetahuan dan pengalaman sehingga lebih banyak bersifat melakukan
konfirmasi terhadap pengetahuan dan pengalaman awal kelompok sasaran atau tidak
mengpendidiki mereka. Arah pembelajaranb mereka lebih condong pada teori belajar sosial yang dalam
implementasinya digunakan pendekatan andragogi.
Konsep andragogi didasarkan pada empat asumsi tentang
karakteristik peserta didik (1) konsep diri bergerak dari seseorang pribadi
yang bergantung ke arah pribadi yang mandiri, (2) manusia mengakumulasikan
banyak pengalaman yang diperolehnya sehingga menjadi suatu sumber belajar yang
berkembang, (3) kesiapan belajar manusia secara meningkat diorientasikan pada
tugas perkembangan peran sosial yang dibawa, dan (4) perspektif waktunya
berubah dari satu pengetahuan yang tertunda penerapannya menjadi penerapan yang
segera, seiring dengan orientasinya terhadap belajar beralih dari satu
orientasi terpusat pada mata pelajaran kepada orientasi terpusat pada masalah
(Knowles, 1981).
Hendrickson menguraikan sembilan prinsip pembelajaran
orang dewasa, yaitu: (1) pembelajaran yang baik memperhatikan pengalaman
belajar negatif pada masa lalu, dan
mendorong pembelajar untuk meraih keberhasilan di masa datang, (2) memperbaiki
hubungan antara suasana sosial yang menyenangkan dan suasana pendidikan yang
memuaskan, (3) kecepatan belajar peserta didik, (4) tidak hanya memperhatikan
kebutuhan terhadap satu pengalaman keberhasilan, tetapi juga kebutuhan terhadap
beberapa pengalaman keberhasilan, (5) mengakui keabsahan prinsip keterlibatan,
(6) mengakui orang dewasa sebagai sumber pembelajaran yang utama, (7) mengakui
bahwa tujuan orang dewasa itu bersifat konkrit dan harus segera dicapai, (8)
memperhatikan kedudukan faktor motivasi dalam proses belajar, dan (9) mengakui
kelelahan fisik dan mental sebagai faktor penghambat proses belajar orang
dewasa (Soebari, 2000).
Pembelajaran dengan pendekatan andragogi didasarkan atas
tiga asumsi menurut Knowles (1980). Ketiga asumsi tersebut adalah: (1) orang
dewasa dapat belajar, dasar kemampuan belajarnya tetap ada sepanjang hidupnya,
jika mereka tidak menampilkan kemampuan belajar yang sebenarnya maka ada faktor
penyebabnya, seperti mereka telah lama meninggalkan belajar sistematis atau
adanya faktor fisiologik, (2) belajar sebagai proses internal, pentingnya implikasi
pada praktek pembelajaran orang dewasa sebagai proses internal, maka semua
metode dan teknik yang digunakan harus mampu melibatkan individu secara
mendalam untuk mengembangkan dirinya dalam menciptakan pembelajaran yang baik,
(3) dalam pembelajaran orang dewasa terdapat kondisi umum dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan melalui proses
pembelajaran yang transaksional. Kondisi dan prinsip-prinsip pembelajaran
dimaksud disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1
Kondisi Belajar dan Prinsip
Pembelajaran Andragogi
Kondisi Belajar
|
Prinsip-prinsip
Pembelajaran
|
1. Peserta merasa ada kebutuhan untuk belajar
2. Lingkungan belajar ditandai oleh keadaan fisik
yang menyenangkan,
saling menghormati, mempercayai, membantu kebebasan mengemukakan pendapat dan
menyetujui adanya perbedaan.
3. Peserta memandang tujuan pengalaman belajar
sebagai tujuannya.
4. Peserta setuju saling urut tanggung jawab dalam
merencanakan dan melaksanakan pengalaman belajar, dan sampai saat itu ada
perasaan terhadap komitmen.
5. Peserta berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran.
6. Proses pembelajaran dikaitkan dan menggunakan
pengalaman peserta.
7. Peserta merasakan akan kemajuan tujuan belajarnya.
|
1. Fasilitator mengemukakan kepada peserta kemungkinan baru untuk memenuhi
kebutuhan dirinya.
2. Fasilitator membantu peserta memperjelas aspirasi dirinya untuk
meningkatkan perilakunya.
3. Fasilitator membantu peserta mendiagnosa perbedaan antara aspirasi
dengan tingkat penampilannya sekarang.
4. Fasilitator membantu peserta memecahkan masalah kehidupan yang dialami
karena adanya perbedaan tadi.
5. Fasilitator memberikan kondisi fisik yang menyenangkan seperti tempat
duduk, ventilasi, lampu, dan sebagainya yang kondusif untuk menciptakan
interaksi antar satu peserta dengan peserta lainnya.
6. Fasilitator memandang bahwa setiap peserta merupakan pribadi yang
bermanfaat dan menghormati perasaan serta gagasannya.
7. Fasilitator membangun hubungan saling membantu antara peserta dengan mengembangkan
kegiatan bersifat komprehensif, mencegah adanya persaingan, dan saling
memberikan penilaian.
8. Fasilitator membuka diri atau menerima apa adanya dan sumber-sumber
kontribusi sebagai suatu bentuk kerjasama pembelajaran dalam semangat saling
pencarian bersama.
9. Fasilitator melibatkan peserta dalam merumuskan tujuan belajar dengan
memperhitungkan kebutuhan peserta, lembaga, fasilitator, dan masyarakat.
10. Fasilitator ikut urun ide dalam merencanakan pengalaman belajar,
memilih bahan, metode, dan melibatkan peserta dalam setiap keputusan bersama.
11. Fasilitator membantu mengorganisasikan dirinya (kelompok kegiatan, tim
belajar-mengajar, studi independen, dan sebagainya) untuk bertanggung jawab
dalam pencarian bersama.
12. Fasilitator membantu peserta menggunakan
pengalaman mereka sendiri sebagai sumber belajar melalui teknik diskusi,
permainan peran, studi kasus, dan sebagainya.
13. Fasilitator menyampaikan presentasinya berdasarkan
sumber dari peserta dan sesuai dengan tingkat pengalaman mereka.
14. Fasilitator membantu peserta mengaplikasikan
pembelajaran baru terhadap pengalaman mereka dan ini berarti membuat belajar
lebih bermakna dan terpadu.
15. Fasilitator melibatkan peserta dalam mengembangkan
kriteria yang disetujui bersama dan menggunakan metode tertentu dalam
mengukur tujuan belajar.
16. Fasilitator membantu peserta mengembangkan dan
mengaplikasikan prosedur dalam mengevaluasi diri sendiri berdasarkan
keriteria itu.
|
Sumber: Knowles (1980).
Berdasarkan tabel tersebut, nampak bahwa fasilitator harus mampu merangsang
peserta didik
dengan berbagai strategi untuk aktif dalam setiap tahap pembelajaran sehingga
diperoleh hasil yang maksimal. Kondisi dan prinsip-prinsip pembelajaran
tersebut sangat relevan dalam pembelajaran keterampilan keagamaan, karena selama ini kegiatan pembelajaran
berlangsung tanpa adanya perencanaan yang secara aktif dapat memperhatikan
kondisi dan prinsip tersebut.
Pine dan Horne mengemukakan sembilan prinsip
pembelajaran yang terkait dengan orang dewasa: (1) belajar adalah pengalaman
yang terjadi dalam diri pembelajar dan diaktifkan oleh pembelajar itu sendiri,
(2) belajar adalah penemuan makna pribadi dan relevansi gagasan, (3) belajar
adalah konsekuensi dari pengalaman, (4) belajar adalah proses kooperatif dan
kolaboratif, (5) belajar adalah proses evaluasi, (6) belajar kadang-kadang
merupakan proses yang menyakitkan, (7) salah satu sumber belajar yang paling
kaya adalah pembelajar itu sendiri, (8) proses belajar bersifat emosional,
intelektual dan pemecahan masalah, (9) proses belajar sangat unik dan bersifat
individual (Soebari, 2000).
Orang
dewasa belajar harus diperhatikan gaya belajar yang khas masing-masing
individu, sehingga mereka mau dan mampu belajar menyeseuaikan diri dengan
lingkungan pembelajaran dan materi
pembelajaran. Mereka cenderung selalu mau mengaitkan kegiatan dan materi ajar
memiliki muatan ekonomi.
Ketiga, pendekatan gerontologi. Kelompok
manusia lanjut usia, yang selama ini diasumsikan tidak bisa lagi belajar dan
tidak mau lagi belajar. Tentu ini keliru dan terbantahkan dengan lahirnya teori gerontologi (seni mendidik manusia
lanjut usia). Kelompok manusia
lanjut usia ini dalam konsep Ki Hajar Dewantara disebut Tut Wuri Handayani. biarkan mereka berkembang ikuti dari belakang.
Orang lanjut usia kaya dengan pengetahuan dan pengalaman, sehingga pemuka agama
cukup merangsang/memotivasi mereka sehingga dapat memanfaatkan potensi yang
dimiliki berupa pengetahuan dan pengalaman yang begitu kompleks. Sehingga diperlukan
dialog dengan menempatkan mereka sebagai orang yang bisa membagi pengalaman dan
pengetahuannya kepada orang lain.
Gaya
belajar orang lanjut usia cenderung lebih variatif dibanding orang dewasa,
orientasi belajar mereka selalu dikaitkan dengan pengalamannya, berbasis sosial
budaya, dan religius. Para orang lanjut usia cenderung mengpendidiki orang
lain, sehingga pemuka agama sebagai pendidik, harus menempatkan mereka sebagai
orang yang dituakan, sehingga pemuka agama harus mampu menyesuaikan gaya belajar
mereka dengan mengarahkan arah pembicaraan atau
arah belajar mereka.
D. Strategi Pemanfaatan Ilmu Sosial
dalam Pembelajaran Agama
Dalam
kaitan dengan metode dan media pembelajaran agama, kemajuan teknologi digital,
menjadi salah satu dasar penjelajahan manusia tanpa fisik, tanpa tatap muka,
manusia dapat berkomunikasi. Penjelajahan semacam ini, selain meningkatkan
kecerdasan intelektual, menghemat biaya, waktu, dan tenaga, namuan dapat
menghambat suasana emosional, spiritual dan sosial. Oleh karena itu, para tokoh
agama sebagai agen perubahan, perlu melakukan invensi dan atau mengadopsi
model-model pembedayaan dalam dimensi sosial, sehingga dapat diterapkan dalam
pengembangan agama.
1. Pemanfaatan
model bisnis multi level, dan social
marketing dalam manajem pemasaran, melalui pesan-pesan ajaran agama
dari seseorang dapat disebar-luaskan melalui SMS, sehingga suatu nilai/ajaran
agama dapat transpormasikan secara cepat dengan populasi sasaran yang lebih
besar dan pesan yang diterima secara utuh dari tokoh agama kepada umatnya.
2. Pemanfaatan media berbasis sosial budaya, misalnya
untuk kepentingan pemahaman nilai-nilai Agama Hindu dengan metode apa yang
disebut Dharma Wacana (Khutbah=Islam).
Dharma Wacana adalah sebuah metode penyuluhan agama Hindu yang akhir-akhir
ini telah mendapat tempat di hati umat Hindu di Indonesia. Namun, khusus di
Bali lebih dominan menggunakan Bahasa Bali dibandingkan dengan Bahasa
Indonesia. Dicontohkan tokoh Ida Pedanda Made Gunung yang setiap hari
memberikan dharma wacana ke seluruh
pelosok ia dengan santun dan menarik menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa
pengantar dalam setiap ceramahnya (Suastika, 2008).
3. Pemanfaatan
media
fotonovela dengan menampilkan dua potret
kehidupan di satu sisi poteret kehidupan yang tidak diinginkan (bertentangan
dengan ajaran agama), dan di sisi lain potret kehidupan yang diinginkan atau
yang sesuai dengan ajaran agama yang sedang diajarkan.
4. Pembelajaran
tolerasi melalui muatan ajar multikulturalisme sesuai dengan rekomendasi UNESCO
bahwa pada abad XXI program pendidikan hendaknya mampu memberikan kesadaran
kepada masyarakat sehingga mau dan mampu belajar (learning to know or learning to learn). Bahan belajar yang dipilih
hendaknya mampu memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada peserta didiknya (learning
to do), dan mampu memberikan motivasi untuk hidup dalam era sekarang dan
memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning
to be). Bahan belajar, selain untuk dirinya sendiri, juga keterampilan
untuk hidup bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan hidup dalam pergaulan
antar bangsa-bangsa dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (leaning to live together) (Delors,
1996).
Firman
Allah SWT: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.” (Qs. Al-Hujuraat [49]:
13). Implikasi lain dari prinsip ini,
yaitu al-Qur`an dan al-Hadits hanyalah standar iptek, dan bukan sumber iptek,
adalah bahwa umat Islam boleh mengambi iptek dari sumber kaum non muslim. Dulu
Nabi Muhammad SAW menerapkan penggalian parit di sekeliling Madinah, padahal
strategi militer itu berasal dari tradisi kaum Persia yang beragama Majusi.
Dulu Nabi Muhammad SAW juga pernah memerintahkan dua sahabatnya memepelajari
teknik persenjataan ke Yaman, padahal di Yaman dulu penduduknya adalah Kristen.
Umar bin Khatab pernah mengambil sistem administrasi dan pendataan Baitul Mal
(Kas Negara), yang berasal dari Romawi yang beragama Kristen. Jadi, selama tidak
bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, iptek dapat diadopsi dari kaum
non-muslim (http://groups.yahoo.com/group/pakpendidikonline/message/466).
Indonesia
adalah Negara yang penduduknya dikenal religius, karena itu peranan Ilmu
pengetahuan termasuk Ilmu-ilmu sosial sangat penting. Mengutip pernyataan
“Mesthene” bahwa teknologi tidak dapat selalu menghadirkan kebaikan, tanpa
kontribusi dari penelitian Ilmu-ilmu sosial dan humaniora dalam pengembangan
Teknologi di masa depan seperti yang terjadi selama ini, maka “kekhawatiran
Faustian” bahwa pemberian kepercayaan yang terlalu besar kepada perkembangan
teknologi sama maknanya dengan membuat perjanjian dengan setan, akan dapat benar-benar
menjadi sebuah kenyataan..
Belajar
dari sejarah panjang pengalaman Negara-negara maju, kita mengetahui bahwa
perkembangan Teknologi dan Ilmu pengetahuan yang telah melahirkannya tidak
selalu menghasilkan “kebaikan” (tonic potentialities). Akan tetapi seringkali
juga melahirkan “persoalan”(toxic potentialities). Perkembangan teknologi
bahkan seringkali memiliki kecendrungan lebih banyak menghasilkan kemudharatan
dari pada kecendrungannya menghasilkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia,
masyarakat, dan lingkungan (http://www.timorexpress.com/index.php?act=news &nid=40695).
Pembelajaran
agama melalui ilmu sosial dapat mendekatkan umat beragama kepada nilai-nilai
sosial budaya, termasuk memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran,
sehingga mempermudah pemahaman dan pengamalan ajaran-ajaran agama. Tanpa adanya
upaya mengadopsi dan mengadaptasi model yang berkembang dalam kehidupan sosial
atau teori-teori ilmu sosial tersebut, maka pemuka agama akan ditinggalkan oleh
umatnya.
Sepanjang
sejarah, peradaban telah bergantung pada ilmu pengetahuan dan agama sebagai dua
sistem utama pengetahuan yang telah membimbing pengembangan intelektual dan
moral. Metode ilmu pengetahuan telah memungkinkan manusia untuk membangun
pemahaman yang koheren. Pencerahan, pada
kenyataannya, menandai titik balik penting dalam melepaskan kesadaran manusia
dari belenggu pemahaman agama yang ortodoksi dan fanatisme. Melalui konsep ilmu
sosial dapat memperkuat basis metode dan strategi pembelajaran agama bagi
pemuka agama dan seluruh umat beragama.
Dalam
konteks globalisasi idiologi industrialisasi dan kapitalisme yang saat ini
menjadi semakin problematik oleh karena basis rasionalitas cara berpikir banyak
orang, sehingga dipandang perlu: (1) Para pemuka agama harus menjadi “Juru
bicara” dari kelompoknya yang kepentingan mereka diartikulasikan dalam
kehidupan sehari-hari, (2) Para ilmuwan sosial harus membangun komitmen dan
kerjasama, dalam melihat persoalan-persoalan pada abab 21 ini dengan lebih
kritis dan jujur, untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan agama
baik dalam konteks Indonesia maupun dalam konteks Global. Pentingnya Ilmu-ilmu sosial dalam pembelajaran agama
yaitu memperkaya model dan metode penerapan dakwah bagi para pemuka agama,
dengan mengadopsi unsur-unsur inovatif dan strategis dari berbagai cabang
disiplin ilmu sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar