Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.
A. Pendahuluan
Mempelajari rangkaian sejarah perjuangan bangsa Indonesia merupakan
suatu kaharusan bagi generasi sekarang untuk memilih dan menganalisis
peristiwa-peristiwa sekarang dalam upaya menentukan arah yang akan dituju pada
masa yang akan datang. Sejalan dengan itu Toynbee (1963) menyatakan bahwa mempelajari
sejarah adalah untuk membuat sejarah (to
study history is to build history).
Kedatangan Bangsa Portugis dan Spanyol, berdasarkan peninggalan
yang ada di berbagai tempat di Buton dan sekitamya seperti jangkar besar yang
terbuat dari besi, meriam dari berbagai jenis dan ukuran serta sumber-sumber
lainnya, maka kedatangan bangsa Spanyol dan Portugis dipulau ini, adalah
sekitar awal abad ke-16. Kedatangan
bangsa tersebut di Buton, selain untuk menjajah, juga untuk berdagang
rempah-rempah. Produksi rempah-rempah di
Buton seperti cengkih dan pala pada abad tersebut, merupakan saingan berat bagi
produksi rempah-rempah di Maluku. Rempah-rempah tersebut, tumbuh khususnya di
Kepulauan Tukang Besi. Menurut sumber
lisan di Buton, bahwa bibit rempah-rempah yang ditanam itu adalah dibawa oleh
pelaut-pelaut Buton dari Sansibar. Armada dagang Portugis dengan beberapa buah
kapalnya, telah pula singgah di pulau ini.
Maksud kunjungannya di Buton, adalah untuk mengadakan hubungan dagang
dengan Pemerintah Kerajaan Wolio. Tempat
pertemuan itu dilaksanakan di Limbo Gama dalam Kota Wolio (Benteng Keraton
Buton). Itulah sebabnya nama Vasco de
Gama (perintis ekspedisi Portugis ke Asia/Afrika) diabadikan sebagai nama Limbo
tempat pertemuan itu yaitu Limbo Gama. Sejak kedatangan bangsa
Portugis dan Spanyol, Buton berperan sebagai daerah persinggahan dari jalur
pelayaran Betawi, Makassar, Buton, Temate dan Ambon. Adanya peninggalan-peninggalan pada berbagai
tempat di pulau ini seperti jangkar besar yang terbuat dari besi terletak di
Kraton Buton, di pantai Desa Kumbewaha di Kecamatan Lasalimu dan tempat-tempat
lainnya. Daya tarik itu antara lain karena letaknya yang sangat strategis di
jalur perdagangan, memiliki pelabuhan alam yang indah dan aman, juga berbagai hasil laut yang cukup
berarti.
Nilai adalah suatu tujuan akhir yang diinginkan, mempengaruhi
tingkah laku, yang digunakan sebagai prinsip atau panduan dalam hidup seseorang
atau masyarakat. Bisa dikatakan bahwa Nilai-nilai pada hakikatnya merupakan
sejumlah prinsip yang dianggap berharga dan bernilai sehingga layak
diperjuangkan dengan penuh pengorbanan. Jika seseorang hanya memperjuangkan
nilai-nilai pribadi sering disebut indivudualis, namun jika seseorang
memperjuangkan nilai-nilai sosial sering disebut pejuang atau pahlawan (orang
yang banyak berbuat untuk kepentingan orang lain tentu ada pahalanya).
Nilai-nilai merupakan representasi dari kognitif dari persyaratan hidup manusia dan dapat bergeser karenanya. Empat tipe persyaratan itu yaitu :
Nilai-nilai merupakan representasi dari kognitif dari persyaratan hidup manusia dan dapat bergeser karenanya. Empat tipe persyaratan itu yaitu :
1. Panggilan Jiwa
2. Kebutuhan individu sebagai
organism
3. Persyaratan interaksi sosial yang
membutuhkan koordinasi interpersonal
4. Tuntutan institusi sosial untuk
mencapai kesejahteraan kelompok dan kelangsungan hidup kelompok (Jaya, 2012).
Mengkaji dan melihat definisi nilai tersebut, maka dalam konteks ke
Indonesiaan, kita bisa menyebutkan bahwa nilai-nilai perjuangan dan
kepahlawanan yang dapat mempersatukan bangsa ini terbagi menjadi tiga yaitu :
1. Sebelum kemerdekaan nilai-nilai itu terangkum dalam istilah
MERDEKA. Merdeka ini dianggap amat bernilai tinggi dan menjadikan wilayah
jajahan Hindia Belanda bersatu padu. Menghilangkan sisi-sisi perbedaan
dan mengedepankan toleransi. Kata-kata merdeka begitu di rindukan oleh semua pihak,
mulai dari gerakan Budi Utomo, Serikan Islam, Sumpah Pemuda dan
perjuangan-perjuangan lokal yang lain.
2. Saat Membela dan mempertahankan kemerdekaan, dengan tampilnya
para pejuang kemerdekaan dengan mengatasnamakan laskar-laskar, pandu dan
lain sebagainya.
3. Setelah merdeka di carilah semua kepentingan suku-bangsa ini
melalui wakil-wakilnya dan semua sepakat untuk menjunjung tinggi kesamaan
nilai-nilai yang terangkum dalam istilah PANCASILA (lima sila/point).
Suatu nilai dasar yang telah digali ini, diambil dari semua golongan yang ada
dan kemudian ditetapkan sebagai dasar kesepahaman untuk bergabung dan
menyatukan diri dalam suatu negara yaitu negara Indonesia. Lima Sila perjuangan
yaitu:
1. Ke Tuhaan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3. Persatuan
Indonesia
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari nilai-nilai
kejuangan yang didasari rasa persatuan dan kesatuan serta cinta ini
muncul semangat juang dan semangat kepahlawanan, yaitu:
1. Rasa senasib sepenanggungan
2. Rela berkorban/tanpa pamrih
3. Teguh
4. Ulet,
5. Percaya diri.
6. Gotong royong (Jaya, 2012)
1. Rasa senasib sepenanggungan
2. Rela berkorban/tanpa pamrih
3. Teguh
4. Ulet,
5. Percaya diri.
6. Gotong royong (Jaya, 2012)
Perkembangan teknologi dan globalisasi informasi sangat
berpengaruh dan berakibat pada terjadinya pergeseran tata nilai. Sehingga ada
kecenderungan nilai-nilai kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan sosial mengalami
penurunan dalam pengamalannya (Anonim, 2011).
Sehubungan dengan hal tesebut dalam melanjutkan pembangunan, perlunya generasi
muda dan generasi penerus dibekali. Untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan sosial dengan penuh kebanggan
dapat diamalkan dalam kehidupan sehari di berbagai kegiatan pembangunan yang
kita laksanakan.
Melalui Bimbingan Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan,
Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial ini, para guru dan tokoh masyarakat dapat mentransformasikan nilai-nilai
tersebut kepada anak didik dalam kegiatan pembangunan sehari-hari, baik dalam
kelas maupun di luar kelas. Sehingga kelah dikemudian hari, anak didik menjadi
generasi muda dan generasi penerus bangsa yang profesional, handal, tangguh,
serta memiliki jiwa kepahlawanan, keperintisan dan kesetiakawanan social, dan
tetap menghargai para pahlawan pendahulunya.
B. Perjuangan Rakyat
Menentang Imperialisme sebagai Wujud Kepahlawanan
1. Masa Kejayaan Nasional
Perjuangan rakyat Indonesia telah dimulai sejak berdirinya kerajaan
nasional di Nusantara seperti Sriwijaya pada abad 7-14 masehi, menurut Van Soet
pada masa itu bangsa Indonesia merupakan pedagang-pedagang yang giat dan penuh
keuletan,serta bejiwa pahlawan, rajin dan berani (Kansil, 1986). Ketatanegaraan
Majapahit disusun dengan rapi, pemerintahan pusat berbentuk lima badang yang
disebut Pancaning Wilwatika (Lima
Kemahamenterian). Sistem ketatanegaraan seperti itu juga dapat dijumpai di
Kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tenggara seperti Kerajaan Konawe yang
mengenal istilah Siwole Mbatohu (empat pintu gerbang) dan Pitu Dula Batu (tujuh
pilar negara). Di Kesultanan Buton dikenal Empat
Barata yang merupakan pilar wilayah Kesultanan Buton sekaligus merupakan
pejabat tinggi Kesultanan dan berkuasa di wilayahnya masing-masing
(Bhurhanuddin, 1978).
Lakilaponto adalah tokoh yang pertama mempersatukan Suawesi Tenggara
secara politis. Pada periode ini terdapat empat kerjaan besar di Sulawesi
Tenggara yaitu: Mekongga, Konawe, Wuna, dan Wolio/Buton. Haluoleo pemah menjadi
panglima di Konawe, menjadi Raja Muna VII, kemudian menjadi Raja Wolio V dan
Sultan Buton I. Nama aslinya Lakilaponto diberikan oleh orang Muna, di Konawe
diberi gelar Haluoleo (selama 9 hari ia dapat mempersatukan Sultra), di Buton
diberi gelar Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis (Raja Kelima) kemudian diberi
gelar anumerta Murhum. Semasih menjadi Raja Muna selanjutnya dinobatkan menjadi
Raja Wolio V, maka kekuasaannya di Muna diserahkan kepada adiknya Laposasu.
2. Penindasan Kolonial
Selama ini tidak banyak terungkap perjuangan rakyat di Sulawesi
Tenggara, disebabkan karena dua faktor:
1. Kaum penjajah Belanda tidak lama
menanamkan pengaruhnya di Sulawesi Tenggara kecuali di Buton.
2. Belum banyak ditulis para
sejarawan khususnya dalam bentuk buku untuk pembelajaran di sekolah.
Meskipun demikian jika kembali mengkaji jejak sejarah masyarakat di
daerah ini tidak sedikit fakta akan perjuangan mereka baik terhadap upaya
mempersatukan kerjaan-kerajaan kecil di Jazirah Sulawesi Tenggara seperti yang
dilakukan oleh Haluoleo (Murhum/Lakilaponto/Sultan Qaimuddin) khususnya dalam
mengusir bajak-bajak laut Tobelo. Demikian pula fakta ditemukannya beberapa
jangkar dan meriam peninggalan Portugis/Spanyol di pantai Utara Buton di
Soropia Kendari akan memberi inspirasi kepada kita bahwa pemiliknya kalau tidak
karang kapalnya berarti mereka mendapat perlawanan rakyat setempat.
Wa Ode Wakelu: Permaisuri Raja Muna XII La Ode Ngkadiri yang
menggantikan suaminya ketika ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Temate.
Pada saat yang sama terjadi kemelut antara Muna dengan Belanda, dimana Muna
tidak pemah mau mengakui kekausaan Belanda atas wilayahnya dan selalu ingkar
membayar pajak upeti kepada Balanda melalui Buton, akhimya Belanda berusaha
menyerang Muna dan rakyat Muna bangkit menghadapi tantangan Belanda, Wa Ode
Wakelu sebagai Ratu juga tampil sebagai panglima yang terjung langsung di medan
perang. Muna dalam hal ini bersekutu dengan Tiworo ketegangan terjadi antara
tahun 1667-1668 yang berakhir setelah pasukan Muna di bawah pimpinan Wa Ode
Wakelu dapat dikalahkan. Tetapi
bagaimanapun kehadiran Srikandi ini dipanggung politik dan pertempuran makin
menambah catatan sejarah keperkasaan atas emansipasi wanita Sulawesi Tenggara
dan Indonesia umumnya.
La Ode Ngkadiri: Raja Muna XII bergelar Sangia Kaindea (1626-1667) beliau dua kali memangku jabatan
Raja Muna, periode pertama seperti tersebut dan periode kedua sesudah kembali
dari pengasingan di Temate pada tahun 1670. Ia diasingkan oleh Belanda antara
tahun 1667-1670 karena sikapnya yang menentang campur tangan Belanda atas
Kerajaan Buton dan Muna dia tidak mau bekerja sama dengan Belanda yang pada
saat itu berusaha menanamkan monopli politiknya atas Buton dan Muna. Untuk menghadapi
ancaman Belanda, maka Raja Muna bersama Dewan Kerajaan mengdakan rapat di Lambu
Balano pada tahun 1628, yang memutuskan: (1) Belanda dinyatakan tidak boleh
masuk di Tanah Muna, (2) Muna tidak bersedia menjalin persahabatan dengan Buton
selama Buton masih bekerja sama dengan Belanda, (3) Muna memberi bantuan secara
terang-terangan kepada pasukan Sultan Hasanuddin yang sementara berlindung di
Tiworo. Usaha Belanda mendekati Raja La Ode Ngkadiri melalui kawin politik
dengan bangsawan Buton yang menjadi sekutu Belanda tidak berhasil karena
tercium oleh Raja Muna, sehingga ia menolak dan akhimya Belanda berusaha
menangkapnya karena dianggap berbahaya atas eksistensi kepentingan Belanda di
kawasan Jazirah Sulawesi Tenggara. Ia diasingkan ke Temate, dan Dewan Kerajaan
Muna mengangkat istrinya bemama Wa Ode Wakelu, dialah yang memimpin perlawanan
terhadap Belanda antara tahun 1667-1668, akhimya Muna dan Tiworo berhasil
dikalahkan. Maka kekuasaan Wa Ode Wakelu dianulir Belanda dengan mengirim
utusan dari Buton bemama La Ode Muh. Idris untuk mengisi kekosongan
pemerintahan di Kerajaan Muna.
Sultan Buton Muhamad Umar (1885-1904) menentang kehadiran Belanda di
Buton, beberapa pembesar Kesultanan Buton menentang Belanda kemudian ditangkap
tahun 1906, seperti: Ani Abd. Latif (Kenepulu), Muh. Zukri (Lakina Sorawolio),
Abd. Hasan (Bonto Ogena Matanyo), La Sahidu (Bonto Ogena Sukanayo) mereka
dibuang ke Makassar.
Lapadi:
seorang Tamalaki (Panglima) dan Plonui dari Kerajaan Konawe yang
berjuang menentang Belanda (1908-1912) di daerah Windo Pamandati wilayah
Kecamatan Lainea Kabupaten Konawe Selatan sekarang ini. Lapadi dibantu oleh
putrinya bemama Aliyina. Dalam perjuangan mereka membuat benteng pertanahan
dengan menjejer batu sepanjang 15 meter. Dalam ekspedisi Belanda pada tahun
1908, Lapadi bersama pengikutnya menghadang ekspedisi Belanda yang menyebabkan
beberapa pasukan Belanda tewas, serangan Belanda diikuti dengan kegiatan
mata-mata yang dilakukan oleh salah seorang juru bahasa Belanda bemama La Ende,
menyebabkan Lapadi tertipu dan dikepung musuh pada bulan Desember 1910 berhasil
tertangkap oleh pasukan Belanda dan ditawan di Kendari, berkat semangat
juangnya yang gigih akhimya ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan
melanjutkan perjuangan, pada tahun 1911 pertanahan Lapadi kembali berhasil
diterobos pasukan Belanda, segenap pengikutnya tewas termasuk putrinya Srikandi
Aliyina, Lapadi sendiri melakukan petualangan di hutan-hutan pegunungan di
daerah Konawe sampai akhimya pada tahun 1914, setelah mendirita sakit meninggal
dunia.
Mataalagi memimpin perlawanan pada tahun 1915 kepada seorang Kepala Distrik
Pasar Wajo (Buton) yang diangkat oleh Belanda pada tahun 1914 yang harus
melaksanakan kebijakan Belanda. Dalam proses pengangkatannya segenap orang
Laporo tidak mendukung pengangkatan La Ode Sambira. Mataalagi memimpin gerakan
rakyat menetang pemerintahan La Ode Sambira dan berhasil membunuhnya. Mataalagi
dan pengikutnya kemudian disusul segenap orang Laporo ditangkap dan diasingkan
ke Bau-bau. Mataalagi, Maandia, Maadulu sebagai pemimpin perjuangan akhimya
dibuang ke Makassar untuk diadili dan selanjutnya di asingkan ke Nusakambangan.
3. Pergerakan Nasional
Istilah pergerakan mengadung arti yang khas, berlainan dengan
pengertian perjuangan. Pergerakan merupakan bagian dari perjuangan, yaitu
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang
teratur. Istilah nasional adalah pergerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan
bangsa.
Di daerah Kendari/bekas Kerajaan Konawe eksepedisi Belanda mendapat perlawanan
diantaranya: Perlawanan Watukila (Ponggawa Tongauna), Sumuela (Sulewata
Wawotobi), Wulumohito (Puutobu Tuoi),
Lapotende menghadang ekspedisi Kapten Helleks di Palarahi-Wawotobi, perlawanan
Lapadi, perjuangan srikandi Weribundu, Matasala berhasil membunuh pionir
Belanda (Han Po Seng), perjuangan Lamboasa yang gugur dalam pertempuran.
Pengasingan tokoh-tokoh pejuang: Watukila ke Makassar, Sumualo ke Makassar, dan
Matasala dkk ke Sawalunto (Bhurhanuddin, 1978). Perjuangan di Konawes Selatan
dipimpin oleh Lamangga (1911), Abdullah (1914-1915) yang berakibat pembuangan
mereka ke Payakumbuh dan Nusakambangan.
Di daerah Mekongga/Kolaka perlawanan dilakukan oleh H. Hasan dan Tojabi
di Lasusua dan Wawo, mereka berhasil menewaskan 14 orang Belanda. Di Konawe
Utara perlwanan dipimpin oleh To Indera, La Tollong, dan La Kampacu. Mokole
Poleang menentang kehadiran Belanda di wilayahnya dan diracun oleh Belanda,
digantikan oleh Mbohogo kedian ditangkap dan dibuang ke Nusakambangan.
Watukila: Panglima Perang Kerajaan Konawe (1864-1934) yang dalam struktur
pemerintahan Kerajaan Konawe bergelar Ponggawa di Tongauna. Watukila
berjuang menentang kehadiran belanda di wilayah Konawe, menjelang kedatangan
Belanda ia mengatur strategi dan taktik perjuangan. Melihat situasi yang
tegang, maka salah seorang juru bicara Belnda bemama Haji Taata berusaha
mempertemukan kedua belah pihak, akhimya tercapai kesepakatan untuk berunding
di Molawe pada tahun 1909 yang kemudian terkenal dengan nama Traktat van Molawe. Pihak Konawe yang
hadir adalah Watukila, dan para bangsawan dari Abuki, Asaki, Latoma, Pondidaha,
Kasipute, Uepay, beserta segenap pengikutnya, dari pihak Belanda hadir Gekkers
selaku pemimpin dikawal satu kompi pasukan yang ada di atas kapal, didampingi
Raja Sao-sao dari Laiwoi, dan Haji Taata. Perjanjian ini tidak pemah diketahui
isinya oleh masyarakat Konawe, termasuk Watukila sendiri, oleh sebab itu segera
setelah kembali dari perundingan, ia mengatur strategi perjuangan dengan
menghimpun para pejuang seperti Lamboasa dan Langgolo untuk memimpin
perlawanan, markas pasukan ditempatkan di Sanuanggambo tempat tinggal
Watukila, sekaligus sebagai penempatan meriam, benteng pertahanan lainnya ada
di Puundombi dengan taktik menggali tanah untuk dijadikan benteng pertempuran
di tengah hutan lebat. Benteng pertahanan lainya terdapat di Abuki dan
Wawotobi. Sehari sebelum serangan Belanda ke markas Watukila salah seorang
mata-mata Belanda beranama Haam Poo Seng terbunuh
oleh pasukan Watukila di Puday. Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Trevers
dapat mengejar pasukan Konawe dan berhasil menewaskan panglima Langgolo,
Watukila tidak kehabisan akal mengangkat Lamboasa menggantikan posisi Langgolo
dan memindahkan markas pertahanannya ke Tanea, dalam pertempuran selanjutnya
Lamboasapun gugur dalam pertempuran, dalam situasi makin terdesak Belanda
mengajak berunding, tetapi Watukila menolaknya, meskipun akhimya ia tertawan
oleh pasukan Belanda, dan selanjutnya di asingkan ke Makassar.
Lamangga: Seorang pejuang dalam menentang imperialisme
Belanda di daerah Palangga (1909-1911). Dia mengatur strategi perjuangan dengan
mempersiapkan senjata Taawu (parang
panjang) dan tombak. Strategi perjuangan Lamangga dapat tercium oleh salah
seorang mata-mata Belanda bemama Polingay seorang bangsawan Andoolo, akhimya
Lamangga dapat terbunuh oleh kaki tangan Polingay pada tahun 1911. Sebagai
penghargaan Belanda terhadap jasa Polingay membunuh Lamangga, maka selanjutnya
diangkat menjadi Kepala Distrik Palangga.
La Ode Ijo: Kapitalau Lohia (Panglima Perang Lohia) di
Kerajaan Muna penentangan perjanjian kerja sama dengan Belanda yang dilakukan
oleh Raja Muna La Ode Maktubu. Pada tahun 1910 Belanda memerintahkan kepada La
Ode Maktubu untuk menangkap La Ode Ijo hidup atau mati. La Ode Ijo berusaha
menggalang simpati rakyat melawan Belanda yang bersekutu dengan La Ode Maktubu,
dalam beberapa kesempatan mereka berhasil menewaskan pasukan Belanda, meskipun
pada akhimya La Ode Ijo sendiri dapat
dikalahkan pada tahun 1914.
C.
Periode Keperintisan
(Masa Pergerakan Nasiona)
1.
Masa Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang di Sulawesi Tenggara tidak sepi dengan
perlawanan diantaranya tercatat: perlawanan di Wanci tahun 1943 dipimpin oleh La
Ode Maniru dan Laode Abdulu yang menyerang Gunco (Kepala Distrik)
Wanci yang dikawal dua orang polisi Jepang yang menemui ajalnya dan Gunco
mengalami luka-luka. Sedangkan La Ode Maniru dan La Ode Abdulu dihukum mati di
depan mata pengikutnya di Wanci. Demikian pula perjuangan Tojabi di Kolaka
Utara berlanjut, namun karena usia lanjut sehingga dapat ditangkap dan
diasingkan ke Palopo.
2. Perjuangan Pascakemerdekaan
Segera setelah kemerdekaan kekhawatiran para pemuda akan kedatangan
sekutu bersama Belanda menjadi kenyataan. Proklamasi yang telah diikrarkan
mendapat ronrongan dari Sekutu/Belanda (NICA), mereka memcap proklamasi
Indonesia buatan Jepang, hal ini tentu saja tidak dapat diterima oleh segenap
lapisan masyarakat Indonesia. Tampillah para pahlawan pejuang dengan
bermodalkan semangat yang dilengkapi senjata sedanya terutama bambu runcing
berhadapan dengan senjata moderan milik Sekutu dan Belanda.
Sekutu menyerahkan kekusaannya kepada Belanda dan bukan kepada
Indonesia, terjadilan perlawanan baik kepada Sekutu seperti yang terjadi di
Surabaya yang dikenal peristiwa 10 November 1945 oleh Arek-Arek Suroboyo, dan
di beberapa belahan daerah lainnya termasuk di Sulawesi Tenggara yang dikenal
dengan peristiwa 10 November 1945 di Kolaka.
Perjuangan rakyat Sulawesi Tenggara tidak berakhir setelah proklamasi,
karena pada masa revolusi fisik perlawanan semakin gencar dilakukan oleh para
pemuda baik secara pribadi maupun melalui organisasi kelaskaran. Berita
proklamasi segera diterima oleh rakyat di daerah ini, dimulai dengan kedatangan
pelayar Wakatobi yang memperoleh berika proklamasi di Pulau Jawa dan Makassar.
Disusul dengan pengibaran bendera merah putih pertama kali di Kolaka dipimpin
oleh Kepala Pemerintahan Kolaka Andi Kasim 17 September 1945, di Lasusua 5
Oktober 1945, di Wawotobi Akhir Oktober 1945 dipelopori oleh pemuda yang
mendapat dukuang Raja II Laiwoi La Sandara, di Kota Kendari dilakukan
penempelan pamplet berita proklamai yang dlakukan oleh para pemuda, diantaranya
Mahaseng, di Bupinang pengibaran merah putih dilakukan akhir November 1945, di
Muna para pemuda militan dipimpin oleh Idrus Efendi melakukan penguabaran
bendera merah putih di luar Kota Raha.
Para pemuda pejuang melakukan takntik perang gerilya untuk menghadapi
Belanda NICA. Puncak perlawanan terhadap NICA di Sultra terjadi pada tanggal 19
November 1945 ketika para pemuda pejuang di Kolaka yang mendapat dukungan penuh
dari pemimpim pemerintahan Andi Kasim melakukan penyerangan terhadap ekspedisi
NICA di luar Kota Kolaka.
Tokoh tokoh masyarakat dan pemuda di Kolaka
pada bulan Juni 1945 memlientuk Gerakan Kebangunan Rakyat (GKR) yang merupakan
badan persiapan unntuk menyambut kemerdekaan yang dijanjikan. Namun janji ini
tidak dapat.diwujudkan karena Jepang telah menyerah 2 bulan kemudian yaitu
tanggal 14-8-1945.
Susunan Pengurus GKR adalah sebagai berikut
:
a). Pelindung : Kabasima Taico dan Hirai
(orang Jepang)
b). Penasehat : Andi Kasim
c). Pengurus Harian :
1). Pimpinan Umum :
M. Jufri
2) Sekretaris :
Ch. Pingak
Anggota : M. Arsyad, M. Agus, Halide, M. Jasir, Abd.
Rasyid, Sidik Bakri, Dg.
Massuro, Dg. Paraga
d). Bagian bagian.
I ) Supply :
Fujiah (Jepang)
2) Penerangan/Propaganda : Tahrir
3) Hiburan
: H. Abd- Wahid.
4) Pertahanan GKR
Komandan M. Jufri
Ajudan
I Abu Baeda
Ajudan
11 Syamsuddin Opa
Sekretaris Sidik Bakri
5). Pasukan GKR
Pasukan
I Andi Punna
Pasukanll Tahrir
Pasukan
III M. Ali Kamri
Pasukan
IV H. Abd. Wahid R.
Tokoh GKR adalah masyarakat/pemuda Kolaka
yang merupakan kader dari Gerakan perjuanga sebelum perang yaitu tokoh PSII,
Muhammadiyah dan PNI di Kolaka yang telah dibubarkan oleh Jepang. PSII dan
Muhammadiyah memang mempunyai kader-kader yang militan di Kolak terutama Kolaka
Utara (Lasusua).
PETA yang bergerak di bawah tanah setelah
Kemerdekaan di Kolaka pada awal September 1945 berhasil merebut beberapa pucuk
senjata dari Jepang. Semenjak terbentuknya API pemuda di bawah pimpinan Tahrir
dan M. Ali Kamry berhasil mendapat beberapa pucuk karabijn 95, atau senjata
yang dibuang Jepang di pelabuhan Pomalaa. Penyelaman senjata ini tidak mendapat
rintangan Jepang. Pengibaran sang Merah Putih di Kolaka dan pemyataan sebagai
bagian dari Rl dihadiri oleh Kabasima Taico. Demikian pula pengibaran bendera,
di Wawotobi yang dlihadiri pula oleh seorang Jepang yaitu Ninomiya Heizo
sedangkan rapat pemuda Ke rumah A. Baso juga dihadiri oleh sersan (Heizo)
Sibata.
Namun demikian dilihat dari bentuk
organisasi. GKR merupakan suatu organisasi massa yang sifatnya menghimpun
rakyat dan aspirasi masyarakat. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, PETA dibentuk
di Kolaka pada akhir Agustus 1945. Organisasi ini bergerak di bawah tanah
dengan maksud menghimpun pemuda militan dengan tekad penuh membela Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dari PETA kemudian bulan September 1945 muncullah
API yaitu Angkatan Pemuda Indonesia yang merupakan organisasi massa Pemuda
pendukung Proklamasi Kemerdekaan RI. Organisasi Pemuda di Kolaka ini pada
tanggal 17 September 1945 berhasil meyakinkan pemerintah setempat sehingga
Kolaka dinyatakan sebagai wilayah atau bagian dari RI.
Sebulan kemudian API menjelma menjadi Pemuda
Republik Indonesia (PRI) pada tanggal 17 Oktober 1945, yang lebih menonjolkan
tekad para pemuda di Kolaka, untuk mendukung RI dan mempertahankan Kolaka
sebagai bagian dari RI. Berbeda dengan API dalam organisasi PRI walau pun
sifatnya sebagai organisasi massa, diadakan Bagian Keamanan/Pertahanan yang di
bawahi oleh H. Abd. Wahid Rahim, Kepolisian oleh Usman Effendi, persenjataan
oleh Lappase dan penggalangan potensi oleh M. Jufri. Keadaan ini menggambarkan
bahwa kemerdekaan itu memerlukan pertahanan dan perjuangan bersenjata.
Kemudian PRI di Kolaka secara resmi membentuk
bagian Kelasykaran yang diberi nama PKR (Pembela Keamanan Rakyat) yang dipimpin
oleh M. Josef seorang bekas KNIL yang saat itu dipekerjakan oleh Jepang di
Pomalaa bersama-sama dengan Sarilawang, M. Billibao dan J.M. Ohijver. Dalam PKR
tergabung bekas KNIL, Heiho dan para Pemuda dari kampung kampung (Seinendan).
Mereka diberi latihan kemiliteran di desa Silea. PRI Kolaka yang menjalin kerja
sama erat dengan PRI Luwu di Palopo berusaha
melebarkan wilayah pengaruh perjuangannya ke luar Kolaka.
Pemuda Wawotobi ingin menggabungkan diri ke
dalam PRI Kolaka dan kemudian datang pula utusan PRI Kolaka ke Wawotobi yaitu
Yusuf, M. Jufri dan A. Majid. Sebagai hasil kunjungan tersebut Wawotobi
dibentuk “Sinar Pemuda Konawe” yang dipimpin oleh J Muhsin. Sinar Pemuda Konawe
tidak dapat mewujudkan organisasi kelasykaran karena tidak lama kemudian
Australia/NICA memasuki Wawotobi. Di Kendari Selatan (Andoolo) terbentuk Pemuda
Rakyat yang dipimpin oleh M. Ali Silondae. Pemuda Rakyat di Andoolo ini
kemudian menjelma menjadi organisasi kelasykaran PKR dan bergabung dengan PKR
Kolaka dengan pimpinannya M."Ali Silondae PKR Andolo merupakan batalion dari brigade PKR Kolaka
dan mempunyai kompi yaitu : (1) Andoolo, (2) Palangga, (3) Laea, dan (4)
Kolono.
Pembentukan PKR sebagai badan kelasykaran
dimatangkan oleh kenyataan Belanda ingin kembali menguasai Sulawesi Tenggara.
Tidak ada pilihan lain dari pemuda Sulawesi Tenggara kecuali mengadakan
perlawanan bersenjata. Pusat dari pada perlawanan bersenjata adalah Kolaka. PKR
Kolaka yang dibentuk dalam tingkat brigade
memperluas diri dengan penggabungan para pemuda dari Andolo dan hulu
Sungai Konaweha, di Tawanga dan Tongauna terhadap kompi PKR.
PKR mengorganisir pemuda dan seluruh rakyat
sampai ke desa-desa, sehingga PKR sebagai badan kelasykaran resmi, dikenal pula
di desa-desa dengan adanya pasukan parang, pasukan tombak dan pasukan panah
yang berafiliasi dengan PKR. Pada dasamya perjuangan mempertahankan kemerdekaan
adalah perjuangan rakyat semesta.
Di Muna terbentuk "Barisan 20"
pada 16 Oktober 1945 yang berorientasi pada perjuangan bersenta. Komandan
"Barisan 20" adalah M. ldrus Efendi, dengan wakil komandan Taeda
Akhmad. Disamping "Barisan 20" di Raha (Muna) dibentuk pula
organisasi pemberontakan Republik Indonesia yang, dipimpin oleh Taeda Akhmad.
Oganisasi ini kemudian lebih dikenal oleh Belanda sebagai organisasi pemuda RI.
"Barisan 20" menyadari bahwa
perjuangan tidak akan berhasil tanpa kordinasi dengan organisasi perjuangan di
sekitamya. Untuk keperluan itu, maka La Karaila diutus ke Kolaka untuk menjalin
bungan dengan PRI Kolaka khususnya dengan PKR. Hubungan ini dimaksudkan untuk
mengkoordinasikan langkah-langkah dan taktik perjuangan. Namun usaha ini gagal
karena La Karaila tertangkap musuh.
Usaha Barisan 20 untuk berhubungan dengan
para pejuang di Sulawesi Selatan gagal karena penghubungnya Kamaluddin juga
tertembak oleh NICA. Kemudian M. Idrus Effendi bersama La Ditu berangkat ke
Makassar untuk mencari senjata. Keduanya dapat kembali menumpang perahu “Sinar
Bangkala” dengan membawa 5 pucuk Karaben dan 10 granat tangan pada tanggal 15
Nopember 1945. M. ldrus Effendi dan La Ditu, kemudian juga ditangkap oleh
Belanda.
Barisan 20 yang diorganisir sebagai
organisasi ketentaraan mengadakan hubungan. pula dengan Angkatan Laut RI di
Jawa Timur dan memperoleh mandat dari Kol. Hamzah Tuppu untuk membentuk
kelasykaran Batalyon Sadar di daerah Sulawesi Tenggara (Muna). Penyerahan
mandat ini disaksikan oleh Sersan Mayor A. Hamid Langkosono putra Muna yang
pada mulanya mengambil inisiatif untuk menghubungkan Barisan 20 di Muna dengan
ALRI (Kol. Hamzah Tuppu) di Lawang (Jawa Timur).
Sejak itu maka Barisan 20
merupakan organisasi ketentaraan dengan kesatuan Batalyon bernama, Expedisi
Batalyon Sadar. Wilayah Muna dibagi atas wilayah Kompi dan anggotanya memakai
pangkat ketentaraan. La Ode Taeda Akhmad sebagai Wakil Komandan Batalyon
memakai pangkat Letnan Satu, La Ditu sebagai wakil Komandan Kompi diberi
pangkat, Letnan Dua. Di Pulau Muna dibentuk 3 kompi di samping satu kompi staf,
sedang di Buton Utara terdapat 2 kompi.
D. Nilai Persatuan dan Kesatuan Bangsa (Berwawasan
Nusantara)
Pada Masyarakat Tolaki di
Sulawesi Tenggara, dikenal dengan konsep kalo
sebagai suatu konsep pedoman hidup yang banyak mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Kalo pada tingkat nilai budaya merupakan sistem norma adat yang
berfungsi mewujudkan ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai
dalam kehidupan masyarakat. Kalo pada tingkat aturan khusus mengatur
aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam
kehidupan masyarakat. Dalam konsep kalo yang mengatur aktivitas tersebut
dikenal meraou, yaitu aturan khusus
yang mengatur setiap individu dalam berbahasa yang menunjukan sopan santun
(bertata krama) serta Atora, yakni
aturan yang mengatur khusus dalam komunikasi sosial.
terdapat ungkapan dalam masyarakat Tolaki yang
dapat memberi sugesti kepada anggota
masyarakat untuk bertingkah laku dengan
baik. Ungkapan tersebut sangat
terkenal dalam lingkungan masyarakat Tolaki, yakni: Inae kosara iee nggopinesara, Inae lia sara iee nggopinekasara. Artinya:
Siapa yang tahu adat, ia yang akan dihargai dan dihormati dan sebaliknya siapa
yang melanggar adat akan dikasari (dihukum).
Ungkapan ini mempunyai makna yang sangat dalam bagi kehidupan
masyarakat. Tiap orang diharapkan untuk
hidup dan bertingkah laku sesuai dengan norma adat istiadat yang hidup dalam
masyarakat. Seseorang akan mendapat
penilaian yang baik dari masyarakat, apabila sikap dan tingkah lakunya sesuai
dengan norma-norma yang berlaku.
Sebaliknya seseorang akan mendapat penilaian yang negatif atau kurang
baik, bila yang bersangkutan sering melakukan perbuatan tercelah yang
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku. Tokoh Haluoleo semasa hidupnya yang sarat pengabdian
(sebagai panglima perang dan penasehat Raja di Konawe, Mekongga dan Moronene,
sebagai Raja di Muna dan Sultan di Buton). Memiliki semangat ingin
mempersatukan semua etnis suku bangsa yang ada di daratan Sulawesi Tenggara. Bukti
sejarah seperti sudah diuraikan sebagai juru damai menyelesaikan perselisihan,
menghancurkan bajak laut dari Tobelo, yang sering mengganggu stabilitas
keamanan teritorial kerajaan-kerajaan di Sulawesi Tenggara (Mazi, 2004).
Disamping itu, kerajaan-kerajan tersebut
menjalin kerjasama dengan kerajaan-keraajaan dari luar Sulawesi Tenggara yaitu
dengan Ternate, Bone, Luwu, Gowa. Hal ini merupakan indikator bahwa Haluoleo
dan pemimpin di kerajaan-kerajaan Sultra adalah pemimpin yang menjalankan
politik ingin hidup bertetangga secara damai dalam prinsip saling hormat
menghormati, serta menjalin persatuan dan kesatuan di kalangan raja-raja dan
rakyatnya. Haluan politik tersebut mengandung nilai semangat persatuan dan
berwawasan luas yaitu berwawasan Nusantara. Hal ini tidak terlepas dengan
keyakinan yang dianut dalam falsafah hidup yang terkenal dalam masyarakat
Tolaki, Muna dan Buton yaitu :
Bagi masyarakat Tolaki berbunyi:
Mohopulai
Wonua (mempersatukan negeri) Mombulesako toono nggapa
(menjadi satu kerukunan masyarakat) Mosiwi siwi toono mohaE (keluarga
menjadi satu kesatuan) (Tarimana, 1989).
Pada masyarakat Muna falsafah itu berbunyi:
a.
Nohansuru-nohansuruno badha, sumano kenohansuru liwu (biar hancur badan asal jangan hancur negeri)
b.
Nohansuru-nohansuruno liwu, sumano keno hansuru adhati (biar hancur negeri asal jangan hancur adat).
c.
Nohansuru-nohansuruno adhati, sumano keno hansuru sara (biar hancur adat
asal jangan hancur sara/hukum)
d.
Nohansuru-nohansuruno sara, sumano keno hansuru agama
(biar hancur sara/hukum
asal jangan hancur agama) (Batoa, 1991; Tamburaka, 1995).
Pada masyarakat Buton berbunyi :
Yinda-moyindamo
araata Sumano Karo, yinda-moyindamo karo Sumano Lipu
(kepentingan diri di atas kepentingan diri); yinda-moyinda Lipu Sumana Sara
Somana Agama (penegakan hokum di atas kepentingan umum, dan kepentingan
agama di atas kepentingan umum, kepentingan agama di atas kepentingan tanah
air) (Anonim, 1982).
Dalam kehidupan bermasayarakat di
lingkungan suku Buton dikembangkan satu landasan falsafah hidup “Pobinci
binciki kuli”, maksudnya saling cubit mencubit kulit”, sakit pada
dirinya tentu sakit pula pada orang lain.
Falsafah ini dijabarkan dalam 4 azas:
a. Pomaa masiaka = saling kasih mengkasihi
b. Poangka angkataaka = saling hormat menghormati
c. Pomae maeaaka = saling menegur dalam pebuatan yang tercela
e. Popiara piara = saling memelihara.
Salah satu falsafah hidup warga
suku Buton yang dicetuskan dalam bentuk ikrar, yaitu: Poromu yinda saangu, pogaa yinda koolota (Poromu= bersatu, Yinda =
tidak, Saangu = satu, bersatu, Pogaa = bercerai), maksudnya bersatu tidak
satu, bercerai tidak berantara. Bersatu
dalam kehidupan bernegara (kerajaan), berkomunikasi sebagaimana bersatunya bumi
(Buton) dengan manusia penghuninya. Dalam mengatur strategi pertahanan dan
keamanan negara dan wilayah di masing-masing wilayah masih saja terpateri
nilai-nilai historis yang bersumber dari peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan
lokal yang ada di wilayahnya. Di Kerajaan Konawe dikenal dengan strategi pertahanan
keamanan berlapis yang disebut Siwole Mbatohuu= empat pusat wilayah
pertahanan (dapat dibandingkan dengan posisi Kodam sekarang),
selanjutnya ada struktur pitu dula batu= tujuh wilayah pemerintahan (dapat dibandingkan wilayah propinsi
sekarang) (Anonim, 1982). Di Kerajaan Muna juga dikenal istilah yang sejenis
seperti Kapitalau Mata Gholeo dan Kapitalau Kanssopa (Panglima Angkatan Laut
Timur dan Barat), terdapat pemerintahan barata yang terdiri
atas 3 wilayah dan memiliki tugas sebagai pemerintahan wilayah sekaligus
sebagai penanggung jawab pertahanan/keamanan wilayah. Di Buton, selain terdapat
Kapilao
Matanyo dan Kapitalao Sukanayo (Panglima Angkatan Laut Timur dan Barat)
juga terdapat pemerintahan barata, yang terdiri atas 4 wilayah. Ketiga kerajaan
tersebut menganut sistem pertahanan berlapis yang disesuaikan dengan kondisi
wilayah masing-masing.
Nilai-nilai historis seperti
tersebut, masih saja terpateri dalam sanubari individu-individu masyarakat
Sulawesi Tenggara, sehingga menempatkan dirinya sebagai salah seorang agen
pertahanan keamanan daerahnya. Dengan demikian secara tidak langsung
melaksankan tugas pengamanan terirotial wilayah Sulawesi Tenggara dan Indonesia
umumnya, ini dimungkinkan karena dinamika masyarakat Sulawesi Tenggara yang begitu
tinggi, diantaranya profesi sebagai pelayar niaga, memegang posisi penting
dalam mengamankan perairan di mana dia berada. Kondisi inilah yang sangat
menunjang stabilitas dan keamanan tertitorial Sulawesi Tenggara khususnya dan
Indonesia umumnya. Tradisi lokal seperti ini sangat diharapkan
ditumbuhkembangkan dalam era sekarang ini untuk membantu tigas aparat
pertahanan dan kemanan, sekaligus menunjang pembangunan daerah yang salah satu
bagiannya adalah pembangunan pertahanan dan keamanan wilayah, khususnya dalam
mewujudkan cita-cita masyarakat sejahtera di era Sultra Raya 2020. Falsafah orang Tolaki, Muna dan Buton seperti disebutkan di atas telah
tumbuh dan berkembang sejak masa kerajaan-kerajaan tradisional. falsafah hidup
tersebut mengandung nilai persatuan dan berwawasan Nusantara.
E. Nilai Kegotong-royongan (Solidaritas/Kesetiakawanan Sosial)
Semua kelompok masyarakat dan
etnis yang ada memiliki spirit untuk maju dengan semangat kegotong-royongan,
meskipun dalam ungkapan bahasa yang berbeda.
Menurut Sanusi Pane dalam Mattulada (1995) bahwa kebudayaan Indonesia
harus mementingkan kerohanian, perasaan, kegotong-royongan, dan manusia
Indonesia tidak boleh melupakan sejarah kebudayaannya, sebab dengan mempelajari
kebudayaannya di masa lalu, ia dapat membangun kebudayaan yang baru. Semangat
kegotong-royongan atau solidaritas antar sesama dapat dijumpai dalam hapir
setiap aktivitas masyarakat. Ungkapan ringan sama dijinjing; berat sama
dipikul, nampaknya masih tetap saja menjadi pegangan hidup masyarakat dalam
aktivitas keseharian mereka, khususnya dalam kaitan salaing membantu sesama.
Demikian pula tingginya semangat kekerabatan antar etnis, yang pada
kenyataannya memiliki pertalian baik melalui hubungan darah maupun perkawinan,
sehingga makin menyuburkan nilai solidaritas antar etnik yang ada. Baik yang
disebut sebagai etnik setempat (Tolaki, Moronene, Muna, dan Buton) maupun etnik
yang disebut pendatang seperti Bugis/Makassar, Jawa, Bali dan Sasak, pada
kenyataannya telah terjali hubungan kekerabatan. Akhirnya, nilai
kegotong-royongan atau solidaritas antar etnik telah menjadi bagian tak
terpisahkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kondisi ini sangat menunjang
program pemerintah dalam menanggulangi kerawanan sosial, lebih khusus lagi
dalam aspek benturan antar etnis atau antar budaya. Pada kelompok etnik yang
ada di Sultra telah dikembangkan budaya gotong-royong. Di masyarakat Tolaki
dikembangkan budaya meadulu, samaturu, dan mepokoaso, di masyarakat Muna dikenal dengan budaya pokadulu, dan di Buton seperti disebutkan dalam filsafat Binci-binciki
kuli.
Pada kenyataannya, di masyarakat
Sulawesi Tenggara telah melekat pribadi khas yang menunjukkan unjuk kerja siap
berjuang demi tegaknya harkat dan martabat manusia myang sekaligus mencerminkan
nilai kepahlawanan, kejuangan dan kesetiakawanan sosial. Pribadi seperti itu terwujud dalam bentuk:
(1) Mempunyai itikad baik, (2) menjunjung tinggi nilai intelektualitas, (3)
menempatkan nilai kejujuran sebagai hal mutlak sebagai pendamping nilai
keintelektualan, (4) mempunyai keberanian moral untuk menjalankan kebenaran,
(5) teguh dalam pendirian, (6) konsekuen dalam bertindak, (7) tangguh dalam
menjalani persaingan hidup, (8) menjunjung tinggi nilai usaha, (9) bertindak
patut atau wajar, (10) cermat dan berhati-hati dalam bertindak, (11) merdeka
atau otonom, (12) solider, (13) bertawakkal.
Warisan nilai budaya yang ada
pada kelompok-kelompok masyarakat di Sultra tersebut, sangat relevan untuk
diimplementasikan dalam dimensi petahanan keaman khususnya dalam memelihara
keutuhan dan kemanan teritorial Sulawesi Tenggara khususnya dan Indonesia
umumnya.
F. Penutup
Rangkaian perjuangan merebut dan mempertahankan kemedekaan telah
menelan banyak korban baik harta maupun jiwa. Para pejuang berani mengorbankan
harta dan jiwanya demi mencapai cita-cita kemederkaan abadi, bukan semata-mata
untuk kepentingannya, tetapi untuk kepentingan bangsa secara keseluruhan untuk
waktu yang tidak terhingga. Mereka rela
berkorban karena ada jiwa, semangat, nilai kejuangan dan pengabdian untuk
kejayaan bangsa dan negara di masa depan. Tugas generasi sekarang adalah
mewarisi, melanjutkan, dan mengebangkan perjuangannya dengan memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengembangkan nilai-nilai moral bangsa
yang penuh kejujuran dan semangat ingin maju dalam rangka memajukan bangsa dan
negara tercita.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Akibat Teknologi/Globalisasi Informasi Terjadi Pergeseran Tata Nilai. http://nahskaw.wordpress. om/2011/03/16/akibat-teknologi-globalisasi-informasi-terjadi-pergeseran-tata-nilai/. Akses, 6 Oktober 2012.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1978. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi
Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Bhurhanuddin, B., dkk. 1979. Sejarah Masa Revolusi Fisik Daerah Sulawesi
Tenggara. Jakarta: Depdikbud.
Brotosoehendro, S., dkk. 1988. Pedoman Umum Pelestarian Jiwa, Semangat,
dan Nilai-nilai 45. Jakarta: Dewan Harian Nasional Angkatan-45.
Kansil, C.S.T dan Julianto. 1986. Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan
Indoensia. Jakarta: Erlangga.
Jaja, Muhammad. 2012. Upaya Penanaman Nilai-nilai Kepahlawanan. http://www.disjarah-ad.org/news-a-event/upaya-penanaman-nilai-nilai-kepahlawanan.html. Akses, 15 Oktober 2012.
Mahmud, Amir. 1985. Surat Perintah 11 Maret 1966 Tonggak
Sejarah Perjuangan Orde Baru. Jakarta: MPR.
Mazi, Ali. 2004. Peran Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Plakasanaan Pembinaa Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.
Pringgodigdo, A.K. 1984. Sejarah Pergerakan Rakyat Indoensia. Jakarta:
Dian Rakyat.
Sagimun, M.D. dkk. 1986. Perlawanan dan Pengasingan Pejuang
Pergerakan Nasional. Jakarta: Inti Idayu Press.
Sukamo. 1983. Indonesia Menggugat. Jakarta: Inti Idayu Press.
Tamburakan, R., dkk. 1999. Sejarah Sulawesi Tenggara. Kendari:
Sekretarait Daerah Propinsi Sultra.
Toynbee,
A. (1963). A Study of History. Vol.1.
London: Oxpord University.
Makalah
Disajikan dalam Bimbingan Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan,
dan Kesetiakawanan Sosial (K2KS) Dinas Sosial Propinsi Sulawesi Tenggara,
Tanggal 17 Oktober 2012
Oleh: Prof. Dr. H. Anwar Hafid, M.Pd.Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo
selamat siang Prof.
BalasHapussaya mau bertanya mengenai kesetiakawanan sosial.
boleh tau teori , aspek dari kesetiakawanan sosial?
terima kasih Prof.