A. Pendahuluan
Setiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat
dapat memanggil seseorang sebagai kerabatnya berdasarkan ikatan atau hubungan genealogis.
Sementara keanggotaan suatu kerabat makin lama makin besar sehingga ada
kecenderungan hubungan genealogis diantara mereka tidak selalu identik
dengan saling kenal mengenal anggota kerabat teratas, sehingga secara vertical hanya mampu mengenal maksimal sampai tiga generasi ke atas atau ke bawah.
Prinsip pengelompokkan
mempunyai fungsi menentukan keanggotaan dalam kelompok-kelopmpok kekerabatan.
Menurut Koentjaraningrat (1992: 135) paling sedikit ada empat macam prinsip
keturunan, yaitu: (1) prinsip patrilineal atau patrilineal descent, yang menghitung hubungan kekerabatannya melalui
laki-laki saja, (2) prinsip matrilineal atau matrilineal descent,
yang menghitung hubungan kekerabatan melalui wanita saja, dan karena itu
mengakibatkan bahwa bagi tiap individudalam masyarakat semua kerabat ibunya
jatuh ke dalam kekerabatannya, (3) prinsip bilineal atau bilineal descent,
yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui pria saja untuk sejumlah hak
dan kewajiban tertentu, atau sebaliknya, (4) prinsip bilateral atau bilateral descent, yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui pria maupun wanita.
Berdasarkan prinsip
pengelompokan yang telah dikemukakan di atas, prinsip keturunan Etnis Tolaki
mengenal prinsip bilateral yakni menghitung hubungan kekerabatan melalui garis
pria maupun wanita. Sistem kekerabtan Etnis Tolaki mengakui, kedudukan kerabat
baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu adalah sama. Dalam keluarga, seorang
ayah atau suami berkedudukan sebagai kepala keluarga, hal itu memungkinkan
karena pengaruh agama, bahwa suami adalah imam di dalam keluarganya. Prinsip
kekerabatan bilateral atau parental sebenarnya tidak mempunyai suatu akibat
yang selektif, karena setiap orang atau individu adalah kaum kerabatnya baik
dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Walaupun pada Etnis Tolaki sistem kekerabatan yang berlaku adalah bilateral, tatapi dalam kehidupan sehari-hari cenderung patrilineal, terutama hal-hal yang berkaitan dengan adat perkawinan, adat upacara
kematian, pendidikan, pembagian harta warisan, dan penyelesaian pertengkaran keluarga, yang banyak
berperan adalah kerabat dari garis ayah. Meskipun dalam beberapa kasus
ditentukan kerabat dari garis keturunan itu, terutama yang memiliki status
sosial ekonomi lebih baik atau secara khusus diminta oleh keluarga untuk
membantu.
Tingkah laku seseorang
pada Etnis Tolaki menjadi tanggung jawab kerabatnya. Oleh karena itu, baik
buruknya seseorang akan berpengaruh terhadap kerabat, khususnya menyangkut
kerabat dari ayah. Oleh karena itu kewajiban kerabat terhadap individu sangat
besar seperti dalam pelaksanaan pendidikan lanjut anggota kerabat. Pendidikan
pada Etnis Tolaki merupakan hal penting dalam kehidupan baik bagi individu
maupun kerabat.
Masyarakat
majemuk seperti Indonesia dan Kendari pada khususnya, sangat penting
dipromosikan terus-menerus karena kehidupan harmoni antara keluarga, tetangga
dan lingkungan, apalagi antara satu suku, tidak konstan, tetapi selalu
berubah-bah tak obahnya siang dan malam.
Salah satu upaya yang dilakukan ialah membuat media seperti yang
dilakukan oleh Etnis Tolaki yang disebut Medulu. Media seperti ini penting dalam mencipatakan
kehidupan harmonis intenal dan antar suku di Kendari. Pembahasan
seperti ini diperlukan karena dalam beberapa tahun terakhir ini, sangat sering
terjadi keributan yang bernuansa SARA (Suku, Agama dan Antar Ras) di Kendari.
Kenyataannya suku-suku yang ada di Sulawesi Tenggara memiliki konsep untuk
hidup bersama dalam suasana yang rukun dan damai. Suku Tolaki misalnya
mempunyai konsep untuk hidup bersama seperti “Medulu.” Konsep ini dipercayai oleh orang-Etnis
Tolaki sebagai konsep untuk hidup bersama dengan siapapun. Dengan konsep “medulu,” maka Etnis Tolaki bisa
hidup bersama dengan suku lain, dalam suasana damai, harmonis dan bersatu (http://musniumar.wordpress.com/
2011/09/19/musni-umar-phd-living-harmony-di-indonesia-dan-kendari/)..
Berkaitan dengan
tanggung jawab kerabat, maka pada masyarakan
Tolaki dikenal tiga istilah yaitu medulu
yang berarti berkumpul, bersatu, dan mesangginaa yang berarti makan
bersama dalam satu piring, sedang istilah yang paling umum berlaku adalah merapu
yang berarti merumpun. Dalam kaitannya dengan masalah kehidupan sosial
(perkawinan, kematian, masalah pendidikan, bencana/kesulitan ekonomi lainnya), kerabat “patrilineal” mempunyai tanggung jawab
terhadap perolehan masalah
yang dihadapi oleh anggota kerabatnya. Kebersamaan dalam
situasi susah dan senang merupakan
tuntutan bagi Etnis Tolaki, sehingga segala upaya kerabat dicurahkan agar
anggota kerabatnya mampu
menyelesaikan masalahnya atau “tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi”. Menyadari pentingnya kebersamaan dalam menyelesaikan
masalah, maka kerabat “patrilineal” mempunyai kewajiban
membantu individu yang membutuhkan.
Masalah
kehidupan yang kompleks setiap keluarga memiliki peluang yang sama untuk
menghadapinya, terutama menyangkut biaya merupakan kewajiban
kerabat “patrilineal”, yang tercakup dalam pranata medulu. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada Etnis Tolaki
tampak adanya suatu sikap atau rasa saling tolong-menolong, gotong royong dan
bantu membantu yang besar. Istilah gotong royong dan tolong-menolong yang
saling bantu-membantu pada Etnis Tolaki merupakan suatu cara dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan yang sifatnya kekeluargaan. Pada Etnis Tolaki
ditanamkan sifat ingin membalas kebaikan kerabat dengan cara membantu anggota
kerabat lainnya. Pranata medulu
mendorong seseorang untuk membalas kebaikan orang lain, dan kalau mungkin dalam
jumlah yang lebih besar
(Suhardin, 2007: 24).
Seperti telah disebut
di atas bahwa tolong menolong, gotong royong dan bantu membantu dalam kehidupan
Etnis Tolaki, yang menyangkut kegiatan di dalam kehidupan sosial yang disebut medulu. Medulu
adalah suatu kebersamaan yang bersifat kekeluargaan, juga yang
dilaksanakan dalam berbagai bidang kegiatan, seperti: pertanian yaitu mengolah sawah, berladang, dan membangun rumah adalah kegiatan gotong-royong yang disebut metealo-alo (saling memberi bantuan), samaturu (ikut serta), dan mepokoaso (menjadi
satu).
Menurut Tarimana (1989:
80) medulu pada Etnis Tolaki adalah suatu kebersamaan yang
bersifat kekeluargaan, berkaitan dengan tolong-menolong, gotong royong dan
bantu-membantu antar sesama keluarga
terutama dalam hal pendidikan dan perkawinan. Medulu berfungsi untuk mempersatukan dan menghimpun kerabat
“dekat” yang sedarah dan berasal dari satu moyang dalam artian medulu
mbenao (satu dalam perasaan), medulu mbonaa (satu dalam
pendapat), dan medulu mboehe (satu dalam kehendak).
Selanjutnya dikatakan bahwa istilah medulu identik dengan
gotong-royong dalam bahasa Jawa yang berarti mengerjakan sesuatu pekerjaan
secara bersama-sama, yang hasilnya dinikmati bersama pula. Dalam pelaksanaannya, istilah-istilah tersebut di atas mencakup semua
aspek kehidupan sosial Etnis Tolaki. Namun istilah-istilah seperti metealo-alo,
samaturu, dan mepokoaso digunakan dalam hal mengerjakan pekerjaan
seperti mengolah sawah, berladang, dan membangun rumah, kecuali medulu
adalah dilakukan dalam rangkaian kegiatan perkawinan, kematian, kecelakaan/bencana, persiapan
ibadah haji, dan pendidikan yang sampai saat ini semakin
berkembang. Dalam situasi hubungan sosial yang cenderung
melonggar, maka keberadaan medulu
pada Etnis Tolaki perlu dikaji lebih mendalam karena akan sangat bermanfaat
bagi kehidupan dan pembangunan masyarakat pada umumnya.
B.
Fungsi Medulu
dalam Kehidupan Sosial
1.
Perkawinan
Dalam bidang adat perkawinan bagi etnis Tolaki,
khususnya kaum laki-laki baik tidak mampu maupun mampu secara ekonomi,
diwajibkan melaksanakan medulu
sebagai suatu rangkaian adat yang harus dilalui, dengan dua cara:
a. Keluarga yang dituakan mengundang anggota keluarga untuk mengadakan
pertemuan membicarakan kemungkinan memberika bantuan materi berupa uang dan
atau bentuk lain Dalam musyawarah yang dilaksanakan di rumah keluarga yang
membutuhkan bantuan atau di rumah kerabat atau di rumah keluarga yang
dituakan/ditokohkan. Permusyawaratan keluarga dilakukan dalam dua bentuk: (1)
permusyawaratan dalam lingkungan keluarga dekat, seperti saudara umunya mereka
mengemukakan jumlah kemampuan yang akan disumbangkan dalam bentuk materi dan
sesuai keikhlasan kepada yang tidak punya, (2) Permusyawaratan di luar sudara tidak
ditentukan besarnya jumlah yang akan disumbangkan, melainkan kesiapan untuk
memberikan bantuan
b. Keluarga yang merasa memiliki kemampuan, secara spontan menyampaikan
kesiapannya untuk memberikan bantuan dengan jumlah tertentu.
Pengumpulan sumbangan dilakukan baik melalui musyawarah lanjutan maupun
disampaikan secara sendiri-sendiri dan atau dikumpulakn oleh seseorang dengan
mendatangi keluarga yang telah menyampaikan kesiapannya untuk membantu.
Dalam kasus tidak normal sebagaimana etnis lainnya
mengenal dua jenis perkawinan, yaitu: (1) perkawinan normal melalui pelamaran,
dan (2) kawin lari. Khusus kasus kawin lari, budaya medulu merupakan solusi yang banyak dimanfaatkan, karena
biasanya laki-laki tidak memiliki kesiapan yang mantap untuk melangsungkan
pernikahan. Pelaksanaan proses kawin lari ini memiliki cukup banyak rangkaian
karena harus melalui adat tambahan yang dikenal Peahala (denda). Pembayaran denda dalam bantuk uang dan
barang dengan ukuran tertentu sesuai jenisnya, seperti:
1) Sarung enam belas lembar untuk pembayaran pengganti perawatan pada waktu
kecil/bayi
2) Kain kaci satu pis untuk pembayaran penggnati kain kapan
3) Kerbau satu ekor untuk pembayaran pengganti leher karena tidak jadi
disembelih (kiniku sara)
4) Kalung emas (eno sara) satu buah
5) Gong adat (tawa-tawa sara) satu buah
Kemudian dilengkapi seperangkat adat persediaan (sara
peana), yaitu:
1) Loyang/baskom (boku mbebahua)
2) Gayung/timba (sudu-sudu)
3) Sarung panjang (tema-tema)
4) Lampu dan sendok (hulo dan siku-siku hulo)
Pembayaran dapat dilaksanakan secara tunai dengan
tenggang waktu antara musyawaran dengan penyerahan bantuan biasanya maksimal 2
minggu.
2.
Kematian
Rangkaian upacara kematian pada masyarakat Tolaki melalui
beberapa tahapan, yaitu: (1) tahap persiapan penguburan, (2) tahap penguburan,
(3) tahap malam 1-6, (4) upacara hari ketujuh, (5) upacara hari ke-40, (6)
upacara hari ke 100, dan (7) upacara hari ke 1000.
Pelaksanaan medulu
dimulai saat jenazah masih disemayamkan di rumah duka dalam bentuk pemotongan
kerbau untuk santap bersama dipersipan bagi keluarga yang jauh menjelang
pemakaman. Kondisi ini terjadi baik secara spontan maupun hasil musyawarah antara
keluarga dekat/saudara, selanjutnya hari ketiga dan/atau hari ketujuh dilakukan
upacara dengan mengundang segenap keluarga dan kenalan, dan upacara puncak
umumnya dilaksanakan pada hari ke-40 kematian dan hari ke 100. Pada upacara ini
umunya dilakukan pemotongan kerbau/hidangan makan siang/malam dan beberapa
jenis kue untuk santap bersama. Para undangan di luar keluarga dekat umumnya
membawa bingkisan dalam bentuk uang tunai dalam amplop tertutup yang tidak
ditentukan jumlahnya, melainkan kerelaan. Sebelumnya terjadi musyawarah
diantara keluarga dekat dalam bentuk medulu
untuk menentukan sumbangan masing-masing kepada keluarga yang berkabung dalam
rangka pelaksanaan upacara Mepokolapasi.
Pelaksanaan medulu dalam
rangkaian upacara kematian, beban/bantuan dibagi setiap rumpun, misalnya:
rumpun keluarga dari ibu 2 ekor sapi/kerbau (Misalnya dibagi 6 bersaudara),
keluarga dari bapak uang 10 juta (misalnya: dibagi 5 bersaudara), rumpun
keluarga lainnya beras 5 karung (selanjutnya dibagi 3 bersaudara).
3.
Bencana/Kecelakaan
Situasi benacara yang dialami suatu keluarga sering
menyulitkan dalam mangggulangi pembiayaannya. Kasus kecelakaan lalulintas
misalnya sering keluarga kesulitan untuk membiayai pengobatan di rumah sakit.
Jika hal ini terjadi, maka keluarga baik dari pihak laki-laki maupun pihak
perempuan melakukan musyawarah dalam rangka medulu untuk membuat kesepakatan besarnya biaya yang
dapat diberikan kerabat yang ditimpa bencana. Realitas menunjukkan biasanya
bantuan akan disesuaikan dengan besarnya biaya yang akan dikeluarkan oleh
keluarga yang tertimpa bencana, dan beban setiap kerabat biasanya disesuaikan
dengan status sosial ekonominya masing-masing.
4.
Ibadah Haji
Penerapan medulu
dalam rangkaian pelaksanaan ibadah haji dilatarbelakangi oleh kegiatan arisan
secara kekeluargaan, selanjutnya muncul keinginan sebagian anggota masyarakat
untuk menunaikan ibadah haji, tetapi terhalang oleh keterbatasan biaya. Kendala
tersebut akhirnya memunculkan suatu solusi dalam bentuk arisan dengan prinsip mombeka-tawa-tawani ako (saling
membantu), melalui sekelompok orang yang umumnya dari suatu rumpun keluarga
atau dari wilayah tertentu untuk menyatukan niat naik haji dengan membayar
sejumlah uang setiap bulan/setiap tahun dibagi rata dari jumlah Ongkos Naik Haji
(ONH) tahun yang berjalan. Penentuan orang yang akan naik haji dilakukan
melalui musyawarah dengan prioritas kesiapan dan tingkat usia.
Bentuk lain medulu
dalam rangka pelaksanaan ibadah haji adalah bantuan spontan dan tak terbatas
dari kerabat kepada seseorang/keluarga yang akan menunaikan ibada haji. Jenis medulu dalam konteks ini tidak dilakukan musyawarah
terlebih dahulu, melainkan terjadi secara spontan dari kerabat atau rumput
kerabat untuk keluarga calon jamaah haji.
5.
Pendidikan
Bagi etnis Tolaki, pendidikan
merupakan alat dan mekanisme untuk melaksanakan aktivitas sekaligus meningkatkan kualitas proses dan hasil dari
aktivitas tersebut dalam rangka mencapai tujuan sesuai dengan nilai dan norma
kehidupan yang telah ditentukan (Suhardin, 2007:
26).
Pandangan tersebut
sejalan dengan pandangan Mead bahwa pendidikan menentukan kualitas dan ruang
lingkup kebudayaan
(Adiwikarta, 1988: 37). sejalan
dengan itu White (1955: 345) menjelaskan bahwa pendidikan
merupakan alat yang digunakan masyarakat dalam melaksanakan kegiatan sendiri,
dalam mengejar tujuannya. Demikianlah,
selama masa damai, masyarakat dididik untuk damai, tapi bila bangsa sedang
berperang, masyarakat mendidik anggotanya untuk perang. Bukan masyarakat yang
mengontrol kebudayaan melalui pendidikan, malah sebaliknya: pendidikan, formal
dan informal, adalah proses membawa tiap-tiap generasi baru ke bawah
pengontrolan system budaya.
Medulu sebagai pranata sosial bagi Etnis Tolaki, dalam
proses pelaksanaannya tidak dapat melepaskan unsur-unsur edukasi, dalam bentuk nilai-nilai budaya yang merupakan cita-cita tertinggi
yang berharga untuk diperjuangkan dan dikembangkan selalu diajarkan bagi
anggota kerabat yang lebih muda usianya. Dalam prosses pelaksanaaan medulu secara langsung maupun
tidak langsung selalu ada proses mensosialisasikan nilai-nilai dan norma baik
yang bersumber pada budaya maupun agama.
Menurut pandsngan
masyarakat Tolaki bahwa medulu dalam prosesnya selalu ada kata-kata nasehat dan
pengantar dri sesepuh atau tokoh dalam kerabat yang bersangkutan. Isi yang
terkandung dalam nasehat ataupun pengantar tersebut biasanya berupa himbauan,
mengingatkan atau bahkan mengajarkan terutama kepada yang lebih muda mengenai
berbagai nilai-nilai dan norma yang perlu dipelajari, dipertahankan,
dikembangkan dalam hidup dan kehidupan ini, demi kemajuan anggota kerabat itu
sendiri, keluarganya dan bahkan kemajuan masyarakatnya (Suhardin, 2007: 25).
Kalangan Etnis Tolaki
menyakini bahwa proses sosialisasi melalui kelompok kerabat yang lebih besar,
misalnya melalui medulu
memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk perilaku anggotanya, meskipun
dalam ukuran yang relative. Keyakinan ini dilandasi oleh asumsi bahwa
mensosialisasikan suatu nilai dan norma kepada anggota kerabat dalam proses medulu, disamping mempermudah
proses institusionalisasi suatunilai yang telah disampaikan atau diajarkan sekaligus juga di dalamnya
otomatis terkandung mekanisme social control, khususnya dikalangan
anggota kerabat itu sendiri.
Dalam kehidupan masyarakat Etnis Tolaki sering kita mendengarkan
pepatah-pepatah yang mengandung arti adanya kesamaan seseorang anak dengan
sifat-sifat orang tuanya atau seseorang dengan sifat-sifat kerabatnya, baik
dalam arti positif maupun negative. Begitu orang tua, akan begitu pulalah
anak-anknya; air di cucuran atap itu jatuhnya ke pelimpahan jua. Hal tersebut
tidak hanya berlaku bagi sifat-sifat mental rohaniah melainkan juga bagi
perilaku bahkan penampilan fisik. Dari orang tua maupun keturunan yang alim
dapat diharapkan anak-anak dan keturunan yang alim, dan sebaliknya dari orang
tua dan keturunan yang diberi label jahat dipandang sukar untuk diperoleh anak
hyang saleh. Keluarga dianggap pemberi label atau cap kepada kepribadian
keturunannya.
Itulah pandangan hidup di kalangan masyarakat Tolaki
dan mungkin juga di kalangan masyarakat lainnya. Meskipun demikian, apa yang
berlaku tidak selamya betul atau sifatnya relative. Tidak tertutup kemungkinan
bahwa sifat-sifat kepribadian seseorang bisa berlainan atau bahkan bertentangan
dengan sifat yang dimiliki orang tuanya dan keluarga.
Secara teoritis pandang
hidup di kalangan Etnis Tolaki tersebut memang dapat diterima, misalnya
pandangan Herbert Spencer yang merupakan penganut teori Darwinisme
sangat percaya akan prose pewarisan ini. Keluarga yang tergolong “the
fittest” melahirkan keturunan yang mempunyai sifat sama, demikian pula
kelompok “the most unfil”. Di sisi lain Emile Durkheim menjelaskan bahwa
pengaruh laurlah yang menyebabkan terjadinya kesamaan sifat kepribadian itu.
Ataupun pandangan yang menyambungkan kemungkinan berlakunya kedua kemungkinan
tersebut (Adiwikarta, 1998: 70).
Pandangan tentang
pentingnya tanggung jawab suatu keluarga dan kerabat dalam mensosialisasikan
anak-anak dan keturunannya untuk bersikap dan
bertingkah laku sesuai nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat, merupakan sumber motivasi utama sehingga kalangan Etnis Tolaki
selalu memanfaatkan semua pranata sosial yang ada termasuk medulu
untuk menyampaikan ataupun mengajarkan hal-hal yang dianggap benar dan baik
sesuai adat istiadat, agama dan ideologi negara, kepada anggota kerabat lainnya terutama kepada
mereka yang dianggap lebih muda.
Selain
mensosialisasikan nilai-nilai dan norma-norma dalam proses medulu, yang dapat berupa nasehat-nasehat baik sifatnya
mengingatkan maupun mengajarkan kepada anggota kerabat yang secara langsung
turut serta dalam medulu.
Wujud medulu yang paling
penting dalam pelaksanaan pendidikan di kalangan Etnis Tolaki, khususnya suatu
kerabat tertentu adalah pemberian bantuan materi kepada anggota kerabat yang sedang menemmpuh pendidikan.
Bagi sutu keluarga yang anaknya sedang menempuh
pendidikan “umumnya pendidikan tinggi” atau pendidikan jabatan khusus yang
membutuhkan biaya yang besar diharuskan menghubungi atau meminta bantuan kepada
anggota kerabatnya biasanya sampai derajat dua, untuk melakukan medulu dalam rangka membantu atau
meringankan beban keluarga atau anggota kerabat yang sedang menempuh pendidikan
tersebut (Suhardin,
2007: 26).
Inisiatif untuk
melakukan medulu dalam
pelaksanaan pendidikan di kalangan keluarga masyarakat Tolaki ataupun pada kerabat tertentu, tidak hanya datang dari keluarga “inti” yang anaknya sedang menempuh
pendidikan. Tetapi juga inisiatif tersebut bisa saja dilakukan oleh sesepuh
kerabat tertentu atau yang dituakan.
Setelah ada inisiatif
untuk melkukan medulu dalam
rangka membantu seorang anggota kerabat yang menempuh pendidikan, maka
dilakukanlah musyawarah biasanya otrang tua anak yang sedang menempuh
pendidikan dan sesepuh keluarga dari kerabat tertentu untuk menentukan waktu
dan tempat untuk pelaksanaan medulu.
Selanjutnya setelah waktu dan tempat ditentukan, maka langkah selanjutnya
adalah mengirim perwakilan atau undangan kepada anggota kerabat untuk
menghadiri acara medulu
tersebut.
Besarnya bantuan materi yang diberikan oleh setiap anggota kerabat sangat
relative, yang biasanya digunakan indicator kemampuan atau status sosial
ekonomi kerabat yang bersangkutan dan juga tergantung dari besar kecilnya biaya
yang akan digunakan oleh anggota kerabat tertentu (Suhardin, 2007: 26).
Data di atas menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial Etnis Tolaki,
khususnya dalam pelaksanaan pendidikan lanjut “pendidikan sarjana dan pendidikan
pasca sarjana” bagi anggota kerabat memiliki kewajiabn moral untuk membantu
melalui pranata medulu, baik menjelang atau awal pelaksanaan
studi maupun pada akhir pelaksanaan studi, besarnya bantuan targantung pada
kemampuan ekonomi anggota kerabat.
C. Dampak Pelaksanaan Medulu bagi Masyarakat Tolaki
Pelaksanaan
tradisi medulu berdampak
terhadap perkembangan kehidupan sosial masyarakat Tolaki. Era globalisasi yang
cenderung didominasi masyarakat yang bersifat individual, namun tradisi medulu dalam rangkain budaya bagi
Etnis Tolaki, terutama dalam kehidupan sosial berpengaruh terhadap perkembangan
masyarakat, baik dampak positif maupun dampak negatif.
1.
Dampak Positif
a.
Musyawarah, melalui medulu yang umumnya didahului
dengan musyawarah antara kerabat untuk membicarakan kesepakatan tentang jenis
dan jumlah bantuan yang akan diberikan kepada keluarga yang membutuhkan.
b.
Kekeluargaan, musyawarah
dalam rangka medulu melibatkan
keluarga dalam tataran kesetaraan, sesorang yang tidak dilibatkan dalam
musyawarah akan merasa tersinggung, demikian pula seseorang/suatu keluarga yang
memiliki status ekonomi yang mapan, jika akan melaksanakan upacara pernikahan
atau upacara kematian dengan tidak melaksanakan medulu, maka dianggap sombong dan melanggar adat.
c.
Tenggang rasa, secara umum
fungsi medulu untuk
meringangkan beban keluarga yang memiliki hajatan tertentu khususnya dalam
pelaksanaan upacara kematian, perkawinan, bencana dan pendidikan.
d.
Dermawan, tujuan utama medulu adalah untuk memberikan
bantuan baik finansial maupun lainnya, sikap memberi sesuatu kepada orang lain
yang membutuhkan merupakan perwujudan
dari sikap mendermakan sebagian haertanya kepada keluarga yang
membutuhkannya.
e.
Etos kerja, adanya
kewajiban sosial untuk memberikan sesuatu dalam bentuk materi dan materi kepada
orang lain dapat membangkitkan etos kerja mencari nafkah yang halal, sehingga
dalam proses medulu dapat ikut
ambil bagian secara signifikan.
2.
Dampak Negatif
a.
Apatis, karena segenap
kebutuhan dalam beberapa rangkaian tradisi dengan mudah dipenuhi melalui
bantuan segenap keluarga, dapat berdampak kepada seseorang untuk bersikap
apatis dengan harapan ada orang lain yang akan membantu, sekiranya ia
membutuhkan bantuan.
b.
Mengharap belas
kasihan orang lain,
karena adanya sikap sosial dalam bentuk derma, tenggang rasa, dan kekeluargaan,
sehingga dapat dimanfaatkan secara keliru oleh seseorang/kelompok orang untuk
selalu menggantungkan dirinya kepada orang lain, atau muncul prinsip jika saya
tidak makan atau tidak dapat memenuhi kebutuhan saya, maka kerabat akan malu
kalau tidak mau membantu.
Unsur Budaya medulu dalam Etnis Tolaki tersebut
mencerminkan karakter yang membedakan dengan etnis lainnya, meskipun memiliki
beberapa kemiripan. Karakter dimasud adalah: Pertama, memiliki semangat
kebersamaan, tradisi medulu
merupakan salah satu wujud semangat kebersamaan bagi masyarakat Tolaki
khususnya dalam memikul beban secara bersama diantara keluarga. karakter
seperti ini juga dimiliki oleh Etnis Bali yang diwujudkan dalam organisasi subak,
dan memiliki metode pertanian yang dikelola secara bersama-sama (Muhammad,
2011: 29). Bagi Etnis Tolaki terdapat tradisi samaturu, yaitu beramai-ramai
bekerja tanpa pamrih gotong royong untuk kepentingan seseorang kerabat. Kedua, Suka berbagi/tidak serakah, tradisi
medulu merupakan wujud sikap
suka berbagi dengan kerabat, termasuk kepada anggota masyarakat lainnya,
terbukti banyaknya etnis lain yang bisa hidup berdampingan dengan Etnis Tolaki
termasuk kawin-mawin. Ketiga, Hormat
kepada Orang Tua/Orang yang Dituakan, karakter ini tergambar dari ungkapan
bahasa Inggomiu yang merupakan kata awal dalam menyapa orang tua/orang
yang dituakan. demikian pula dalam rangkaian adat perkawinan dan kematian wajib
menghadirkan tokoh masyarakat yang digelar tolea (tokoh adat), dan pabitara
(juru bicara). Keempat, kurang suka
merantau, karakter seperti ini secara historis dijumpai pada Etnis Jawa,
disebabkan karena mata pencaharian utama mereka bertani (Muhammad, 2011: 139),
sehingga cenderung hidup menetap dan bermukim di wilayah pedalaman sekitar
sungai, mereka dimanja oleh alam yang subur. Meskipun terdapat persamaan tidak
suka merantau, tetapi sistem mata pencaharian terdapat perbedaan Etnis Tolaki
sistem pertanian ladang yang berpindah-pindah, tetapi dewasa ini Etnis Tolaki
sudah banyak yang merantau karena menempuh pendidikan tinggi dan atau
penempatan pada suatu unit kerja tertentu.
D. Penutup
Medulu sebagai pranata sosial bagi Etnis Tolaki memiliki fungsi dalam rangka upacara perkawinan, upacara kematian,
bencana/kecelakaan, pelaksanaan ibadah haji, dan pelaksanaan pendidikan. Tradisi medulu, mengandung makna: musyawarah, tenggang rasa, dermawan,
kekeluargaan, dan etos kerja. Meskipun di sisi lain bisa berdampak negatif yang
menyebabkan seseorang besikap apatis dan pasrah diri, dengan mengharap bantuan
dari pihak keluarga melalui tradisi medulu
untuk menyelesikan setiap masalah yang dihadapinya.
Tradisi medulu dalam era modern sekarang
ini dapat dikembangkan baik dalam Etnis Tolaki, maupun untuk etnis lainnya,
dengan melakukan penyesuaian ke arah yang dapat lebih meningkatkan nilai
positif dan meminimalkan dampak negatifnya. Unsur budaya kebersamaan seperti medulu ini dapat dijadikat
perekat persaudaraan dan persatuan internal etnik dan dapat dimodifikasi
menjadi trans-etnik, sehingga dapat menjadi alat perekat persatuan dan kesatuan
Bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwikarta, Sudardja. 1988. Sosiologi Pendidikan: Isyu dan
Hipotesis Tentang Hubungan Pendidikan dan Masyarakat. Jakarta: Depdikbud
Ditjen Dikti P2LPTK.
Cohen, Bruce J. 1992. Theory and Problems of Introduction to
Sociology. Penerjemah Sahat Simamora. Jakarta: Rineka Cipta.
Kessing, R.M. 1992. Antopologi
Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Erlangga
Koentjaningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:
Dian Rakyat.
Muhammad,
As’adi. 2011. Membaca Karakter Orang
Berdasarkan Etnisnya. Yogyakarta: Najah.
http://musniumar.wordpress.com/2011/09/19/musni-umar-phd-living-harmony-di-indonesia-dan-kendari/.
Akses, 31 Oktober 2011.
Suhardin. 2007.
Fungsi dan Peran Medulu dalam
Pelaksanaan Pendidikan Etnis Tolaki di Desa Sanggona Kecamatan Wawotobi
Kabupaten Konawe. dalam Selami IPS. No. 20 Tahun XII. (hal-
6-12).
Tarimana, Abdurrauf. 1989. Kebudayaan Tolaki. Jakarta:
balai Pustaka.
White, Leslie, A. 1955. The
Science of Culture, A Study of Civilization. New York: Grove.
Makalah: Disajikan pada Prakongres Kebudayaan di Makassar,
tanggal 16-18 Desember 2011
Oleh: Anwar
Hafid (Dosen FKIP dan PPS Universitas Haluoleo Kendari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar